Ulama Terbelah Dalam Pilpres, Dimana Posisi Kita?

Dulu dalam Pilkada di Aceh para ulama juga berlainan usulan Ulama Terbelah Dalam Pilpres, Dimana Posisi Kita?

Dulu dalam Pilkada di Aceh para ulama juga berlainan pendapat. Ada yang dukung Irwandi, ada yang dukung Tarmizi A. Karim dan ada yang mendukung Muallem. Dan itu sebuah hal yang masuk akal dan pasti sah-sah saja.

Dan ada juga yg tidak mendukung siapapun dg alasan-alasan tertentu. Semua mesti kita hormati meskipun sepenuhnya tidak cocok dg wawasan yang kita miliki.

Yang salah yaitu siapa pun yang mencaci alasannya bekerjsama pada hasilnya budbahasa lah yang menjadi ukuran. Adapun budbahasa orang-orang yang bagus maka dia sebisa mungkin tidak akan berkata buruk, bukan cuma terhadap ulama. Tapi juga terhadap siapa saja.

Dan sekarang dalam Pilpres para ulama kembali berlainan usulan dalam hal proteksi kontestan Pilpres. Ada yang dukung Paslon 01, ada yang ke Paslon 02.

Dan menurut saya hal itu juga masuk akal dan pasti sah-sah saja.Juga ada ulama yg tdk mendukung Paslon mana pun. Juga masuk akal saja. Setiap mereka pasti punya argumentasi masing-masing.

Di banyak sekali kepingan dunia juga seumpama itu. Dalam banyak sekali prosesi politik, para ulama kerab terbelah. Sekali lagi, hal itu masuk akal dan biasa saja.

Lalu dimana posisi kita?

Dalam problem fiqh, apabila para ulama berlainan usulan dalam sebuah masalah, ada ulama pendapatnya A, ulama lain lagi B misalnya, maka kita disarankan mengikuti usulan yang paling kuat. A, atau B? Bukan begitu ?

Pengarang kitab bisanya memberi pemberitahuan yang mana usulan yang paling mempunyai pengaruh di antara dua atau beberapa usulan dan untuk itu sanggup kita ikuti yang paling mempunyai pengaruh ini.

Lalu bagaimana dalam problem Pilpres? Persoalan silang usulan para ulama dalam Pilpres memang berlainan dengan khilafiyah ulama dalam problem fiqh. Karena dalam problem fiqh terdapat pengarang kitab yang mau menerangkan mana usulan yang paling mempunyai pengaruh menurut atas kajian dia terhadap dalil-dalil.

Jadi dimana posisi ideal kita dalam Pilpres atau Pilkada ? Ikut ulama yang mendukung Paslon A atau Paslon B? Jika kita tanya pada ulama yang mendukung Paslon A, maka niscaya dia akan meminta kita mendukung Paslon A. Jika kita tanya terhadap ulama yang mendukung Paslon B, maka niscaya dia akan meminta kita mendukung Paslon B.

Pada titik ini, dikala terjadi silang usulan antar para ulama, maka untuk thalibul 'ilmi (penuntut ilmu) akan diminta untuk mengkaji secara mendalam rujukan dari Islam. Makara dia tdk boleh puas cuma mengikuti usulan A, atau B. Makara ini bab dari upaya memfungsikan logika sehat yang memang ditekankan dalam Islam.

Ketika dihadapkan pada dua opsi jelek misalnya, maka Islam menyediakan kita qaidah berfikir untuk "Mengambil yang lebih ringan di antara dua mudharat".

Jadi di antara dua paslon Capres Cawapres yang muncul, kiprah kita yaitu mengkaji yang mana yang paling sedikit mudharatnya untuk agama dan bangsa.

Kaidah berfikir yang lain untuk menganggap yaitu "Kenali seseorang lewat teman-teman dekatnya". Ini cara para ulama shalaf dalam menganggap orang. Makara kiprah kita yaitu menganggap siapa teman-teman akrab atau orang-orang yang disekeliingnya. Seberapa jauh mereka pro kepentingan bangsa dan Islam. Caranya amati track record atau rekam jejak.

Sudah cukup? Belum.

Jika mengacu terhadap argumen Islam, maka kepemimpinan ideal itu mesti adil. Makara silahkan cek dan teliti siapa yang paling sanggup diperlukan untuk berlaku adil. Adil dalam penyelenggaran aturan dan keadilan dalam hal-hal lainnya.

Lebih dari itu, Islam juga sungguh tidak suka sikap dusta, ingkar komitmen dan khianat atas amanah. Terdapat hadist Rasulullah Saw wacana ini. Silahkan cek sendiri isi hadisnya.

Jadi kiprah kita yaitu meneliti siapa yang kira-kira jauh dari sikap itu. Dan jgn lupa untuk terus memanjatkan do'a terhadap Allah Swt biar diberikan isyarat untuk sanggup menyaksikan kebenaran selaku kebenaran dan kebatilan selaku kebatilan. Bunyi do'anya: Allahumma arinal haqqa haqqa, warzuqna ittibaa'ah. Wa arinal baathila baathilan warzuqna ijtinaabah.

Nah sehabis itu, insya Allah hati kita akan lebih damai untuk mengikuti ulama A, atau ulama B. Bukankah Islam mengasihi orang-orang yang mau berfikir?

Bagaimana usulan guru kami Waled Nuruzzahri, Tgk Tu Bulqaini dan lain-lain? Bolehkah saya punya persepsi dan ajaran sendiri macam ini ?

Penulis: Teuku Zulkhairi