Kekerasan Dalam Pendidikan


A.      Kekerasan dalam Pendidikan

Kekerasan bisa terjadi dalam aneka macam bentuk, yakni kekerasan yang berupa fisik, psikis, pelecehan, ekonomi dan sebagainya. Kekerasan juga bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Kalau kita mengatakan mengenai kekerasan terhadap anak, maka penulis menggambarkan bahwa kekerasan yang terjadi merupakan kekerasan yang tidak jauh dan/atau dalam dunia bawah umur itu sendiri, baik itu di rumah atau dalam keluarga, di sekolah, di tempat pengasuhan anak, di tempat bawah umur bermain dan di dalam penduduk selaku tempat bawah umur bermain dan mencar ilmu menyesuaikan diri dengan aneka macam hal.
Jean Soto dalam Ibrahim Amini menyampaikan bahwa, “Seluruh penderitaan insan menyerupai ketidakadilan, eksploitasi, ketidakteraturan, permusuhan, dan pertempuran berakar dari kekerasan yang dicicipi oleh anak-anak, ketidakdisiplinan, egoisme, dan aroganisme, yang berkembang subur dalam hati orang-orang remaja itu karena faktor pendidikan yang tidak pintar menyerupai ini.”[1]

Kekerasan dalam pendidikan merupakan suatu bentuk kekerasan yang terjadi di aneka macam forum pendidikan baik itu di forum pendidikan formal, non formal maupun dalam forum pendidikan informal. Bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi di forum pendidikan pun merupakan bentuk kekerasan yang komplit juga, baik itu tindak kekerasan fisik menyerupai pemukulan, tindak kekerasan psikis menyerupai menghujat atau memarahi dengan kata-kata yang kasar, bahkan ada juga bentuk kekerasan yang bersifat pelecehan seksual.[2]
Untuk mengerti aneka macam kondisi kekerasan dalam pendidikan, faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam pendidikan dan apa saja pemicu kekerasan dalam pendidikan merupakan suatu hal yang penulis akui sungguh susah dan komplit. Hal ini dikarenakan tindak kekerasan dalam pendidikan acap kali dianggap selaku salah satu proses dalam mendidik, sehingga sedikit susah membedakan antara suatu sikap itu yang dianggap mendidik dan sikap yang sudah tergolong dalam tindak kekerasan meskipun sikap itu sendiri terjadi dalam proses pendidikan.
1.   Kondisi Internal dan Ekternal
Kekerasan dalam pendidikan bisa saja timbul karena aneka macam faktor dan alasan, meskipun pada hakikatnya segala tindak kekerasan sebenarnya tidak perlu terjadi di forum pendidikan selaku suatu forum yang memiliki kiprah penting dalam membina dan membentuk etika, sikap, tingkah laris serta moral anak didik ke arah yang labih baik, akan tetapi hal ini perlu dipertanyakan kembali apabila hal yang sebaliknya malah “diperankan” oleh para penggerak, pelaksana, dan praktisi pendidikan yang objek sasarannya merupakan anak didik itu sendiri.  
Kekerasan dalam pendidikan sendiri sebenarnya suatu hal yang juga berlainan dengan isyarat etik dan aturan dalam dunia pendidikan, baik dalam bentuk fisik maupun pelecehan atas hak seseorang. Pelaku kekerasan dalam pendidikan bisa siapa saja, yakni menyerupai kepala sekolah, guru, staf, sesama murid, orang tua, wali murid dan dapat juga masyarakat.[3] Perlakuan guru yang berlebihan dengan argumentasi menghukum murid sehingga membuat luka fisik, atau sebaliknya perlakuan murid yang menganiaya guru atau bersikap tidak acuh terhadap apa yang ditugaskan oleh gurunya, hal ini merupakan salah satu tindakan melawan hukum dan pelecehan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Ada beberapa kondisi internal penyebab terjadinya kekerasan dalam pendidikan yang kokoh pribadi terhadap sikap pendidik dan anak didiknya yaitu:
a.    Kekerasan dalam pendidikan yang timbul selaku akhir dari adanya pelanggaran yang kemudian dibarengi dengan hukuman, khususnya eksekusi fisik.

Berbagai macam hal upaya-upaya yang dijalankan oleh pemerintah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan terus digalakkan, meskipun tidak tidak mungkin penulis akui bahwa sebenarnya tidak semua kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap pendidikan seluruhnya berlangsung dengan baik dan benar. Banyak kita lihat bahwa tidak semua kebijakan-kebijakan terhadap pelaksanaan pendidikan sanggup dijalankan secara merata di seluruh lembaga-lembaga pendidikan terlebih di forum pendidikan yang berada di wilayah pedalaman.
Di samping peningkatan jumlah penduduk di Indonesia, minat penduduk yang terus peduli terhadap pentingnya pendidikan juga dari tahun ke tahun terus meningkat, hal ini secara pribadi juga sungguh mempengaruhi terhadap bertambah banyaknya berdiri lembaga-lembaga pendidikan yang menjajal memuat semua penerima didik yang ingin belajar. Meningkatnya minat penduduk terhadap pendidikan dan banyaknya jumlah lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia merupakan selaku salah satu bukti perkembangan terhadap proses pencerdasan masyarakat, akan tetapi ada beberapa kegundahan dalam pelaksanaan pendidikan yakni menyerupai banyaknya bangunan-bangunan dan aneka macam macam kepraktisan sekolah yang belum mencukupi untuk menyesuaikan diri dengan standar-standar kebijakan pemerintah.
Profesional mutu guru selaku praktisi pendidikan yang terpenting di setiap forum pendidikan tenyata juga menjadi salah satu halangan dalam pendidikan, sebagaimana yang pernah dipaparkan oleh Sulistyo Rektor IKIP PGRI Semarang bahwa mutu guru di Indonesia terendah se-Asia Pasifik,[4] Hal ini merupakan suatu bentuk keprihatinan yang memerlukan perhatian serius.
Kurangnya mutu guru, ternyata menjadi efek yang kurang baik dalam proses pelaksanaan pendidikan di sekolah. Ketika tingkat kesanggupan guru dari sisi penguasaan micro teaching kurang baik, psikologi pendidikan kurang, kepraktisan sekolah tidak mencukupi dan tunjangan guru yang minim, hal ini memiliki efek negatif terhadap profesinya selaku seorang guru, sedangkan permintaan kebijakan pemerintah dari tahun ke tahun terus meningkat. Kurangnya wawasan guru terhadap penguasaan ke-profesionalismenya menjadi imbas bagi anak didik yang mereka hadapi setiap hari, dan hal inilah yang menciptakan guru tidak stabil dalam menghadapi aneka macam tingkah dan prilaku anak didik, tidak aneh jikalau banyak guru yang gampang dalam memamerkan tindak kekerasan terhadap anak didik yang sering mereka dalihkan selaku “hukuman” atas sikap dan tingkah laris anak didik yang mencukupi dengan peraturan sekolah yang sudah ditetapkan.
b.   Kekerasan dalam pendidikan yang diakibatkan oleh buruknya metode dan kebijakan pendidikan yang berlaku.

Berbagai permasalahan pendidikan yang makin hari makin komplit, mulai dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang makin hari makin memaksa aneka macam suasana dan kondisi pendidikan biar terus meningkat, sedangkan kesanggupan dari sisi pendanaan dan profesionalitasnya kurang serta efek ekonomi yang berkepanjangan menimpa aneka macam golongan penduduk Indonesia, dan salah satunya juga guru sehingga hal ini  kemudian memaksa para guru untuk mencari kerja sambilan untuk menyanggupi keperluan hidup mereka.
Muatan kurikulum yang cuma mengandalkan faktor kognitif dan mengabaikan pendidikan afektif,[5] merupakan salah satu penyebab yang juga memacu pada kekerasan dalam pendidikan. Standar kelulusan yang cuma berpacu pada nilai Ujian Nasional (UN) saja memunculkan paradigma anak didik bahwa yang terpenting dari seluruh proses pendidikan merupakan hanyalah UN dan yang lebih penting lagi merupakan kecerdasan anak didik yang cuma dinilai dari angka-angka di rapor saja, sedangkan etika, prilaku, adab dan moral menjadi nomor kesekian secara tidak langsung.
Jika proses pendidikan sudah mengenyampingkan adab dan moral, maka tak heran jikalau kemudian kekerasan dan kejahatan sungguh rentan terjadi meskipun di forum pendidikan itu sendiri. Dari apa yang sudah penulis paparkan di atas, yang kita temui merupakan banyaknya para guru yang menjalankan pelanggaran isyarat etik pendidikan itu itu sendiri, dan sikap para pelajar yang gembira menjalankan tindak kekerasan menyerupai tawuran, pergaulan bebas, dan penggunaan NAPZA, yang ternyata sikap tersebut malah tidak jarang terjadi di sekolah-sekolah tempat mereka belajar.
Sedangkan kondisi eksternal penyebab terjadinya kekerasan dalam pendidikan yang kokoh secara tidak pribadi terhadap sikap pendidik dan penerima didik yaitu:
a.    Kekerasan dalam pendidikan yang dipengaruhi oleh lingkungan penduduk dan tayangan-tayangan yang sering ditampilkan di media massa.

Kekerasan dalam pendidikan dapat juga terjadi akhir dari efek lingkungan,[6] kondisi sosial dalam suatu penduduk juga menjadi pemicu bagi siapa pun dan dimana saja untuk menggandakan bahkan menjadi kebiasaan untuk menjalankan hal-hal yang jelek sekalipun. Budaya penduduk yang sudah biasa dengan kekerasan dan senantiasa menyelasaikan problem dengan kekerasan menyerupai kekerasan dalam keluarga, tutur bahasa yang kasar, pertentangan yang berkepanjangan dan nilai-nilai kepedulian terhadap sesama serta sikap bantu-membantu yang tidak ada dalam masyarakat, membuat tindak kekerasan itu suatu hal yang seolah-olah hal yang “biasa”.
Kekerasan yang diakibatkan oleh efek lingkungan dapat juga lewat media elektronik  seperti HP (hand phone), televisi, internet, dan alat-alat elektronik lainnya, yang kini sering menjadi tempat atau mitra bermain anak-anak, sering memperlihatkan tayangan yang tidak mengandung nilai-nilai pendidikan akan tetapi lebih banyak memperlihatkan adegan-adegan pornografi, pergaulan bebas, minuman keras, dan aneka macam macam tindak kriminal lainnya.
Tidak dipungkiri, datangnya kehebatan alat-alat elektronik sebenarnya bisa membuat media pembelajaran lebih mudah, menggembirakan dan sungguh menolong para guru, siswa dan mahasiswa dalam mencari aneka macam macam materi wawasan dan menolong para penerima didik dalam menyelesaikan aneka macam macam tugasnya. Akan tetapi, jikalau alat-alat elektronik ini malah digunakan “berbalik arah” maka akan sungguh gampang pula dalam menghancurkan akhlak/moral anak bahkan juga sekaligus bisa menghancurkan budaya masyarakat.       
b.   Kekerasan dalam pendidikan yang terjadi akhir dari terjadinya perkembangan kehidupan penduduk yang mengalami pergantian cepat sehingga memunculkan sikap instant solution dan jalan pintas.

Pergeseran nilai-nilai sosial-budaya dari pergaulan terbatas menjadi pergaulan bebas dalam penduduk menjadi faktor yang ternyata bisa merambah cepat ke dunia pendidikan. Pergeseran nilai-nilai dalam penduduk dari nilai beretika, tata krama yang tinggi, sopan santun, saling menghargai, saling melindungi dan menasehati, menjadi penduduk yang bebas nilai merupakan pergantian yang begitu cepat dan gampang dalam masyarakat, hal ini terjadi karena ketidaksiapan atau kehabisan penduduk kita dalam menyeimbangkan perubahan-perubahan yang begitu cepat terjadi sehingga kendali penduduk makin hari makin melemah.
Kekurangan ilmu wawasan yang menciptakan kehidupan kian ketat sedangkan keperluan terus meningkat, hal ini juga yang kemudian memacu seseorang ingin serba “instan” dan gampang dalam menjangkau sesuatu. Jika nilai-nilai moral secara individu dan penduduk sudah “tipis”, maka segala sesuatu menjadi halal tanpa memperhatikan atau memperdulikan lagi nilai-nilai agama. Hal ini merupakan salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi seseorang rentan dalam menjalankan tindak kejahatan dan kekerasan pada siapa pun dan di mana saja.     
c.    Kekerasan dalam pendidikan yang dipengaruhi oleh latar belakang sosial-ekonomi pelaku.

Kekurangan ekonomi dan kekurangan mata pencaharian merupakan suatu faktor yang dapat menciptakan seseorang menjalankan suatu hal terkadang di luar logika kesanggupan insan yang normal. Kejadian penculikan, pelacuran, trafiking bahkan pembunuhan yang “mampu” dijalankan oleh sebagian orang terkadang banyak yang disebabkan oleh faktor ekonomi yang “menjepit” kehidupan.
Semua faktor internal dan eksternal di atas merupakan faktor secara pribadi dan secara tidak pribadi sudah menciptakan aneka macam macam tindak kekerasan yang terjadi di dalam penduduk dan juga yang terjadi di lingkungan sekolah. Faktor internal merupakan faktor yang paling rentan menjadi penyebab sering terjadinya tindak kekerasan dalam dunia pendidikan, sedangkan faktor eksternal merupakan faktor pemicu yang kemudian mempengaruhi dunia pendidikan secara perlahan dan kabur tetapi pasti.
2.   Sebab-sebab Pemicu Kekerasan dalam Pendidikan
Sebelum kita membahas mengenai sebab-sebab pemicu kekerasan terhadap anak dalam pendidikan, ada baiknya penulis paparkan dahulu mengenai beberapa alasannya merupakan terjadinya tindak kekerasan terhadap anak secara umum, yaitu:
a.    Sebab internal yang berasal dari dalam diri anak itu sendiri seperti:
1)  Anak yang mengalami cacat tubuh, gangguan mental, gangguan tingkah laku, autisme, anak terlalu lugu, memiliki temperamen lemah, dan anak yang terlalu bergantung pada orang dewasa.[7]
2)  Anak yang terlalu penakut, anak yang terlalu nakal, bebas, tidak mandiri, dan sikap yang menyimpang pada anak. 
b.   Sebab eksternal yang berasal dari luar diri anak menyerupai keluarga, dan penduduk seperti:
1)  Kemiskinan keluarga, orang bau tanah yang pengangguran, penghasilan keluarga yang tidak cukup, serta banyaknya jumlah anak.
2)  Keluarga tunggal atau keluarga (broken home), menyerupai perceraian, ketidakadaan salah satu orang tua, sehingga memunculkan kurangnya sumbangan cinta dan kasih sayang pada diri anak.
3)  Keluarga yang belum matang secara psikologis, kurangnya wawasan orang bau tanah dalam mendidik anak, sikap orang bau tanah yang berlebihan, dan anak yang tidak diharapkan kelahirannya.
4)  Penyakit gangguan jiwa, gangguan emosional, dan tertekan pada salah satu atau kedua orang tua.
5)  Sejarah penelantaran anak. Orang bau tanah yang semasa kecilnya mengalami perlakuan salah dari orang bau tanah mereka maka condong memperlakukan bawah umur mereka dengan cara yang salah pula.
6)  Kondisi lingkungan yang buruk, menyerupai pemukiman yang kumuh, ketidakpedulian terhadap keperluan anak-anak, menatap anak dengan sikap yang rendah, meningkatnya faham ekonomi upah, lemahnya perangkat aturan dan tidak adanya prosedur kendali sosial yang bagus dalam masyarakat.[8]

Jika kita menyaksikan penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak di atas, maka hal tersebut kemungkinan juga menjadi faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam dunia pendidikan. Faktor internal penyebab terjadinya kekerasan dalam pendidikan sama halnya dengan penyebab internal yakni yang berasal dari dalam diri anak itu sendiri secara biasa menyerupai yang sudah dipaparkan di atas. Sedangkan dari faktor eksternal penyebab terjadinya kekerasan dalam pendidikan, akan penulis coba paparkan dalam beberapa poin berikut ini, yaitu:
Pertama, Kurangnya kemakmuran guru, sehingga guru mencari pelengkap penghasilan lain yang memunculkan bawah umur terbengkalai di sekolah dan hal ini menyebabkan bawah umur untuk berbuat hal-hal yang dikehendakinya tanpa adanya kendali guru. Kedua, Guru yang belum menguasai ilmu keguruannya secara baik atau belum matang secara psikologis untuk menjadi pendidik. Guru yang tak punya ilmu psikologis dan tak punya kematangan emosional yang baik, maka akan tidak sabar dan sungguh gampang murka sehingga terpancing perilakunya untuk menjalankan hal-hal yang terkadang berlainan dengan isyarat etik guru itu sendiri.
Ketiga, Guru yang memiliki gangguan emosional dan tertekan  karena terlampau banyak menghadapi aneka macam macam masalah, baik itu masalah  dalam keluarga maupun problem dalam masyarakat, sehingga guru akan sungguh rentan dilampiaskannya pada anak didiknya. Keempat, Sejarah dikala menjadi murid. Guru yang dikala mencar ilmu dulunya sering menjalankan perlakuan agresif dari guru-gurunya terdahulu, maka akan condong akan menjalankan mengenai yang serupa pula dikala ia menjadi guru, hal ini nyaris bisa dibilang dengan pendidikan balas dendam, yakni apa yang dirasakannya dahulu mesti dicicipi juga oleh anak didiknya sekarang.
Kelima, Kondisi lingkungan sekolah yang “kritis”, menyerupai ruangan mencar ilmu yang tidak nyaman, kumal dan kotor. Hal ini akan menciptakan guru bahkan juga anak didik tidak betah di sekolah. Keenam, Peraturan sekolah yang terlalu mengikat atau bebas sehingga tidak sedikitpun berpihak pada kebutuhan-kebutuhan anak didik, hal ini yang hendak menciptakan anak didik merasa terlalu dikekang atau sebaliknya merasa boleh berkehendak sebebas-bebasnya sehingga anak didik akan gampang mangkir dari sekolah, tidak menghargai guru, dan tidak mau mentaati peraturan-peraturan sekolah, dan hal ini akan memacu para guru untuk menjalankan sumbangan hukuman atau eksekusi terhadap anak didik yang bertingkah menyimpang.
Ketujuh, Tidak adanya kecintaan guru terhadap bawah umur dan profesinya selaku seorang pendidik. Hal ini sebenarnya sudah bermula semenjak penyeleksian jurusan pada tahap permulaan di sekolah tinggi tinggi, sarjana keguruan semestinya merupakan seseorang yang betul-betul memiliki kesanggupan emosional yang baik, kecerdasan intelektual yang anggun dan kecerdasan spiritual mencukupi sehingga dikala ia berhadapan dengan aneka macam abjad murid ia diperlukan akan bisa menghadapi dengan sarat kasabaran dan wawasan serta sanggup menyelesaikannya segala permasalah dengan sosusi yang tepat.
Kedelapan, Kebijakan pemerintah yang masih kurang tepat, “guru juga manusia” hal ini merupakan benar adanya, sehingga setiap guru memiliki kekurangan kemampuan. Jika pendidikan yang diperlukan merupakan pendidikan yang betul-betul efektif, sebenarnya seorang guru cuma diberikan beban tanggung jawab sejumlah 5 atau 7 orang murid saja. Guru kita di Indonesia, memiliki beban dan tanggung jawab sebanyak 40 orang murid dalam waktu 2x40 menit (80 menit), jikalau kita kerjakan penjumlahan, maka dalam 1 hari selama 8 jam tatap wajah (320 menit) maka guru akan menghadapi 160 murid dengan aneka macam macam latar belakang dan aneka macam karakter, dan dalam hal ini penulis percaya bahwa insan manapun niscaya akan mengeluh. Dan satu hal lagi,  jika kebijakan pemerintah sedikit perhatian terhadap guru dengan meminimalkan jumlah tanggung jawab guru, maka penulis percaya bahwa pemerintah Indonesia sudah pasti belum bisa menggaji guru dalam jumlah yang sungguh banyak.



[1]Ibrahim Amini, Agar Tak Salah Mendidik, terj. Ahamad Subandi dan  Salman Fadhullah, (Jakarta: Al-Huda, 2006), h. 344.
[2]Bawa dua siswi ‘belajar’ ke Medan, Kepsek ditangkap ” ini merupakan judul gunjingan di  Serambi Indonesia (Jum’at, 11 Maret 2011), hal. 1 yang memuat gunjingan mengenai seorang kepala sekolah di Sekolah Menengah Pertama Lhoksukon Aceh Utara yang ditangkap polisi karena menjinjing dua siswinya ke Medan bahkan sempat bermalam di hotel.
[3]A. Ridwan Halim, Tindak Pidana Pendidikan (Suatu Tinjauan Filosofis-Edukatif), (Jakarta: Ghalia, 1985), h. 105.
[4]Abd Rahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan (Tipologi Kondisi, Kasus dan Konsep), (Yogyakarta: Tiara WacanaYogya, 2004), h. 17.
[5]Abd Rahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan..., h. 3.
[6]Abd Rahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan..., h. 22.
[7]Lihat Soeharto dalam Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, (Bandung: Nuansa, 2006), h. 39.
[8]Lihat Soeharto dalam Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap..., h. 40.