Kamu tentu ingat bahwa karya sastra bentuk puisi yaitu karya yang memakai bahasa yang pekat dan padat isi. Oleh penyair, kata-kata dalam puisi merupakan sarana sebagai media verbal wacana apa yang dipikirkan, dirasakan, dan pengalaman yang terjadi di sekitarnya.
Penyair menuangkan bermacam-macam verbal lewat kata-kata yang mempunyai lambang atau simbol. Jika kau ingin memahami isi puisi dari seorang penyair, maka kau harus menerjemahkan kata-kata yang bersimbol tersebut.
Bagaimana caranya?
Caranya dengan menelaah struktur pembangunan puisi.
Apa sajakah struktur puisi itu?
Struktur puisi ada dua, yaitu struktur fisik dan struktur batin.
■ Struktur fisik puisi adalah bagaimana kecakapan/kreativitas penyair dalam membuat puisi. Bagaimana membuat pengimajinasian, gaya bahasa, kata-kata dikonkretkan, dan bagaimana membuat lambang atau kiasan.
■ Struktur batin puisi meliputi tema/pokok persoalan, perasaan, nada, amanat dalam puisi. Struktur fisik dan struktur batin puisi merupakan satu-kesatuan yang tidak sanggup dipisahkan keberadaannya untuk membentuk puisi.
Nah, melalui artikel ini kau akan mencar ilmu untuk mendiskusikan isi puisi dengan realitas tema yang diangkat. Tema-tema yang diangkat penyair antara lain ketuhanan, kemanusiaan, keindahan alam, percintaan, dan sebagainya. Menarik bukan?
Perhatikan pola puisi berikut ini!
Aku Kalau hingga waktuku ‘Ku mau tak seorang’kan merayu Tidak juga kau Tak Perlu sedu sedan itu Aku ini hewan jalang Dari kumpulannya terbuang (Chairil Anwar) |
Dari penggalan puisi di atas kau harus menerjemahkan bait-bait puisi dengan penuh pemahaman. Puisi di atas mengisahkan mengenai kebebasan seseorang yang tidak ingin terikat aturan-aturan tertentu di masyarakat.
Puisi ”Aku” di atas mengisahkan bahwa penyair merasa kalau sudah datang waktunya, penyair ingin ia bebas pergi mengembara dan teguh pada pendirian tanpa seorang pun bisa membujuknya. Ia merasa keputusannya sudah bulat. Tidak perlu ditangisi atau ada yang sedih. Ia merasa sudah tidak mempunyai kegunaan lagi bagi lingkungannya.
Puisi merupakan manifestasi kehidupan, simbol-simbol kehidupan, atau mimesis kehidupan. Sebab itu, puisi bisa disebut juga sebagai verbal jiwa, yaitu yang mengekspresikan fenomena sosial melalui kata-kata yang figuraitif. Sebagai simbol sosial, tentu saja puisi merupakan penyebar nilai-nilai sosial yang diketahui oleh pengarangnya sebagai materi baku imajinasinya.
Seorang pengarang dikala mengolah imajinasinya untuk materi puisi, tentu saja bermula dari keadaan sosial yang dilihatnya, dirasakannya, dan diketahuinya. Mustahil seorang pengarang membuat puisi mengabaikan fenomena sosial.
Pengarang menemukan pandangan gres puisinya, memupuk imajinasinya, bermula lantaran melihat kenyataan sejarah, keadaan budaya, gejolak sosial, keadaan sosial, komunitas sosial, elemen sosial, dan simbol-simbol sosial yang ada.
Nilai-nilai yang timbul dalam cerpen dilihat dari unsur sosialnya adalah
1. Tokoh-tokoh yang diciptakannya sebagai pelaku sosial;
2. Keadaan ekonomi yang menggerakkan elemen sosial (simbol sosial);
3. Konflik yang dibangun antartokoh sehingga kisah terasa utuh dan mimesis kehidupan;
4. Ideologi tokoh-tokohnya;
5. Sejarah perkembangan insan yang dilihat digambarkan dalam cerita.
Puisi selain sebagai fenomena sosial, juga sebagai verbal budaya. Penyair tentu saja akan berpijak pada sebuah peradaban yang dibangun dari wujud kebudayaan sebagai materi penciptaannya. Wujud kebudayaan berdasarkan pendapat Koentjaraningrat (1994: 5) terdiri atas tiga bagian:
● wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan;
● wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks acara kelakuan berpola dari insan dan masyarakat;
● wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Munculnya gagasan atau pandangan gres untuk membuat suatu puisi selalu dipengaruhi atau dilatari dengan realitas kehidupan yang dialami oleh penyair itu sendiri. Sebagai mahluk sosial, penyair merupakan anggota suatu kelompok masyarakat yang mempunyai kehidupan sosial yang beraneka ragam.
Keberadaan penyair di tengah-tengah kelompok masyarakat sosial secara tidak eksklusif akan menunjukkan efek terhadap karya yang dihasilkannya. Namun, akan berbeda dengan kelompok lainnya dalam menyikapi kehidupan yang melatarinya.
Untuk mempermudah menemukan korelasi isi puisi dengan realitas kehidupan, parafrasekan terlebih dahulu puisi tersebut untuk lebih memahami gagasan yang terkandung di dalamnya, kemudian bacalah secara berulang-ulang.
Perhatikan pola puisi berikut ini!
Gadis Peminta-minta Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil Senyummu terlalu awet untuk kenal duka Tengadah padaku, pada bulan merah jambu Tapi kotaku jadi hilang tanpa jiwa. Ingin saya ikut, gadis kecil berkaleng kecil Pulang kebawah jembatan yang melulur sosok Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan Gembira dari kemayaan riang. Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kauhafal Jiwa begitu murni, terlalu murni Untuk bisa membagi dukaku. Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil Bulan di atas itu tak ada yang punya Dan kotaku, ah kotaku Hidupnya tak lagi punya tanda. (Toto Sudarto Bachtiar, Suara) |
Kehidupan sosial suatu masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, sanggup dijadikan materi untuk penciptaan puisi. Corak kehidupan masyarakat yang bisa diangkat atau dituangkan ke dalam sebuah puisi bisa beraneka ragam, contohnya kisah percintaan, pandangan hidup, adat kebiasaan, atau sikap suatu kelompok masyarakat di luar masalah politik.
Langkah-Langkah Menemukan Unsur Kehidupan Sosial Masyarakat dalam Puisi
Ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan untuk bisa menemukan unsur kehidupan sosial masyarakat serta sikap penyair terhadapnya melalui sebuah puisi. Langkah-langkah itu diantaranya :
1. membaca puisi yang bersangkutan secara berulang-ulang supaya Anda bisa menemukan makna keseluruhan puisi tersebut;
2. mengidentifikasi dan menyimpulkan judul puisi, kata-kata, larik, atau kalimat di dalamnya;
3. mengidentifikasi korelasi makna antara larik yang satu dengan larik lainnya untuk memahami satuan makna yang terdapatdalam bait puisi;
4. mengidentifikasi unsur sosial kehidupan yang di kemukakan penyair;
5. mengidentifikasi sikap penyair terhadap unsur kehidupan yang dimaksud.
Dalam puisi di atas, Toto Sudarto Bachtiar hendak memberikan sebuah realitas sosial mengenai kehidupan kaum tuna wisma. Toto sengaja menentukan menggambarkannya melalui seorang gadis kecil untuk memberi imbas supaya pembaca sanggup memahami penderitaan kaum tersebut. Mereka tidak berdaya menghadapi kerasnya kehidupan kota.
Namun, dibalik itu semua, tolong-menolong setiap insan mempunyai harkat (martabat) yang sama. Perbedaan kekayaan, pangkat, dan kedudukan seseorang, dihentikan menjadi alasannya adanya pembedaan perlakuan terhadap kemanusiaan seseorang. Para penyair mempunyai kepekaan perasaan yang begitu dalam mengenai hal ini.
Jika kebanyakan pembaca menganggap bahwa pengemis kecil yang minta-minta di pinggir jalan sebagai sampah masyarakat, sebagai insan yang tidak berharga, maka penyair menyampaikan dengan tegas bahwa martabat gadis peminta-minta itu sama derajatnya dengan martabat insan lainnya. Martabatnya lebih tinggi dari menara Katedral. Bahkan kalau gadis kecil itu mati, kota Jakarta akan kehilangan jiwa alasannya dunianya tidak mempunyai tanda lagi.
Latihan Soal
1. Bacalah puisi berikut ini secara berulang-ulang.
Mimbar Dari mimbar ini telah dibicarakan Pikiran-pikiran dunia Suara-suara kebebasan Tanpa ketakutan Dari mimbar ini diputar lagi Sejarah kemanusiaan Pengemban teknologi Tanpa ketakutan Di kampus ini Telah dipahatkan Kemerdekaan Segala despot dan tirani Tidak bisa dirobohkan Mimbar kami Karya (Taufik Ismail, 1966) |
2. Temukanlah korelasi puisi di atas dengan kehidupan.
3. Kemukakan hasil pekerjaan Anda.
4. Mintalah jawaban dari teman dan guru Anda.
5. Tambahkan jawaban yang Anda terima ke dalam pekerjaan Anda.
Sumber https://blogbahasa-indonesia.blogspot.com/