BAB I
P E N D A H U L U A N
A. Latar Belakang Masalah
Islam merupakan agama yang sempurna, diridhai oleh Allah dan memiliki hukum yang lengkap untuk mengontrol kehidupan umat manusia. Sesuatu urusan yang sudah ditugaskan di dalam Islam mengandung unsur kemaslahatan yang banyak bagi manusia, baik kemaslahatan di dunia maupun di akhirat. Begitu juga urusan yang dihentikan dalam Islam sanggup menenteng pengaruh yang jelek bagi kehidupan insan baik di dunia maupun di akhirat. Dampak yang terjadi juga sanggup merugikan individu itu sendiri dan sanggup menenteng pengaruh yang besar bagi masyarakat, dan bangsa bahkan umat insan seluruhnya. Di antara larangan dalam Islam yang menenteng pengaruh yang besar bagi individu dan penduduk merupakan wacana riba.
Al-Qur’ân menampilkan perhatian untuk membebaskan logika dari ikatan maupun simpul yang menghambatnya untuk berfikir rasional. Di samping dari pada itu Al-Qur’ân juga melarang seseorang berfikir dengan mengikuti dugaan dan mengikuti hawa nafsu dan kecenderungan yang mengarah terhadap kesalahan di dalam berfikir. Tujuannnya merupakan biar insan terbebas dari kesesatan dan kesengsaraan.
Adapun orang yang sudah terpengaruh dengan masakan yang diharamkan dari hasil riba ini akan sanggup mempengaruhi contoh berfikir yang salah dan juga tidak mentaati peraturan agama. Seperti firman Allah di dalam Al-Qur’ân surat Al- Baqarah ayat 275:
الذين يأكلون الربا لا يقومون إلا كما يقوم الذي يتخبطه الشيطان من المس... )البقرة:٢٧٥(
Artinya: Orang-orang yang menyantap (mengambil) riba tidak sanggup berdiri melainkan seumpama berdirinya orang-orang yang kesurupan syaitan karena (tekanan) penyakit gila...(Qs. Al- Baqarah: 275).
Dari ayat di atas Allah menerangkan bahwa orang yang mengambil riba tidak hening pikirannya, melainkan seumpama orang yang kesurupan atau seumpama orang yang terkena tekanan penyakit gila. Orang tersebut dibilang demikian karena tidak sanggup membedakan antara jual-beli dan riba. Padahal Allah sudah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.
BAB II
P E M B A H A S A N
A. Pengertian Riba
Riba berasal dari bahasa arab, yakni ”masdar dari”(بوا- ربا ربا – ير) artinya bertambah, biak, bayaran lebih, keuntungan”[1] Abul A’la Al-Maududi menerangkan bahwa ”pokok kata Riba merupakan (الربا). Termasuk di dalam Al-Qur’ãn (رب) yang mengandung arti bertambah, berkembang, naik dan meninggi.”[2]
Ada beberapa usulan dalam menerangkan wacana riba, tetapi secara lazim terdapat benang merah yang memastikan bahwa riba merupakan pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau berlainan dengan prinsip muamalah dalam Islam.
M. Hasbi Ash- Shiddieqy menerangkan bahwa, riba merupakan pelengkap bayaran (bunga) salah satu dari dua pengganti yang sejenis dengan tak ada bagi pelengkap itu penukarannya, atau dengan kata lain riba merupakan mengeluarkan duit lebih disebabkan karena meminta handal karena tidak sanggup mengeluarkan duit di waktu yang sudah diputuskan semula.[3]
Dari pemahaman dari para ulama di atas maka penulis menyimpulkan bahwa riba merupakan pelengkap bunga dari harta pokok karena adanya tangguhan atau karena perjanjian yang tidak disyari’atkan yang menenteng terhadap kerugian satu pihak dan menguntungkan bagi pihak yang lain yang berlainan dengan prinsip Islam.
B. Bahaya Riba dari Segi Kognisi.
Kelebihan insan dengan makhluk yang lain di antaranya adalah: ”Manusia memiliki kesanggupan untuk berbagi ilmu wawasan yang berpangkal dari kecerdasan otak atau intelektualitas yang disebut dengan kesanggupan kognitif.”[4] Dengan kesanggupan kognitif ini, insan sanggup mengalami pergeseran tingkah laris secara sadar dan cepat. Termasuk kesanggupan mengadakan reaksi terhadap rangsangan dari luar. Oleh karena itu Islam mengusulkan biar kesanggupan berfikir ini dibangun pada seseorang sesuai dengan fitrah insan yang condong untuk menemukan kebenaran Al-Qur’an dan aturan-aturan yang ada di dalam Islam.
Islam memiliki perhatian yang begitu besar untuk mengajak insan memperhatikan fenomena alam dan merenungkan makhluk ciptaan Allah. Islam mengusulkan insan untuk memperhatikan langit, bumi, jiwa, dan seluruh ciptaan Allah yang ada di alam raya ini. Seperti firman Allah di dalam Al-Qur’ân:
tûïÏ%©!$# tbrãä.õt ©!$# $VJ»uÏ% #Yqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbrã¤6xÿtGtur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $uZ/u $tB |Mø)n=yz #x»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß $oYÉ)sù z>#xtã Í$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ
Artinya: ”(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam kondisi berbaring dan mereka mempertimbangkan wacana penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):”Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau mencitakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Qs. Ali-‘Imrân: 191).
Bila kita lihat ayat-ayat Al-Qur’ân di atas bahwa Allah sudah menaruh kaedah-kaedah dasar di dalam Al-Qur’ân untuk berfikir ilmiyah, yaitu: ”Sebuah proses berfikir yang diawali dengan pengamatan, mengumpulkan data, menawan kesimpulan, dan terakhir memverivikasi (pemeriksaan wacana kebenaran laporan, pernyataan) kembali kebenaran kesimpulan yang sudah diambil.”[5]
Al-Qur’ân menampilkan perhatian untuk membebaskan logika dari ikatan maupun simpul yang menghambatnya untuk berfikir rasional. Di samping dari pada itu Al-Qur’ân juga melarang seseorang berfikir dengan mengikuti dugaan dan mengikuti hawa nafsu dan kecenderungan yang mengarah terhadap kesalahan di dalam berfikir. Tujuannnya merupakan biar insan terbebas dari kesesatan dan kesengsaraan.
Adapun orang yang sudah terpengaruh dengan masakan yang diharamkan dari hasil riba ini akan sanggup mempengaruhi contoh berfikir yang salah dan juga tidak mentaati peraturan agama. Seperti firman Allah di dalam Al-Qur’ân:
úïÏ%©!$# tbqè=à2ù't (#4qt/Ìh9$# w tbqãBqà)t wÎ) $yJx. ãPqà)t Ï%©!$# çmäܬ6ytFt ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4... ÇËÐÎÈ
Artinya: ”Orang-orang yang menyantap (mengambil) riba tidak sanggup berdiri melainkan seumpama berdirinya orang-orang yang kesurupan syaitan karena (tekanan) penyakit gila...” (Qs. Al- Baqarah: 275).
Dari ayat di atas Allah menerangkan bahwa orang yang mengambil riba tidak hening pikirannya, melainkan seumpama orang yang kesurupan atau seumpama orang yang terkena tekanan penyakit gila. Orang tersebut dibilang demikian karena tidak sanggup membedakan antara jual-beli dan riba. Padahal Allah sudah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.
Ada beberapa kesalahan di dalam berfikir bagi orang-orang yang condong untuk menghalalkan riba dan bermitra dengan metode ribawi. Kesalahan itu merupakan sebagi berikut:
1. Berfikir yang menyimpang dari fitrah manusiawi.
2. Berfikir egoisme dan untuk laba eksklusif serta tidak mempedulikan kemeslahatan orang banyak.
3. Berfikir yang tidak berpedoman pada Nash Al-Qur’ân yang Qat’̣i, sehingga terjadinya kesalahan dalam mengambil kesimpulan, padahal Allah sudah terang di dalam Al-Qur’ân mengharamkan riba.
C. Dampak Riba dari Segi Afeksi
Afeksi merupakan ”Hal-hal yang menyangkut dengan sesuatu yang bermitra dengan sikap, perasaan, tata nilai, minat dan apresiasi”.[6] Nilai-nilai afektif ini yang besar lengan berkuasa bagi seorang muslim dalam menata kehidupannya di dunia dan dalam bermitra dengan masyarakat. Orang yang memiliki sikap (akhlak) yang bagus di dalam penduduk akan disegani dan dihormati.
Orang yang sudah terpengaruh dengan riba akan mengalami sikap dan emosional yang tidak stabil dalam hidupnya. Dari ketidakstabilan dalam hidup akan melahirkan sifat-sifat dan sikap-sikap yang tercela yang sungguh dibenci dalam pedoman Islam. Sifat atau sikap tercela yang sanggup menghancurkan eksklusif dan penduduk akhir dari praktek riba adalah:
1. Sombong
2. Kikir
3. Timbulnya sifat tamak
4. Hilangnya rasa kasih sayang
D. Dampak Riba dari Segi perilaku
Adapun efek dari praktek riba akan melahirkan sikap yang menyimpang dari hukum agama dan memicu kerusakan individu dan sosial. Di antara sikap yang menyimpang yang lahir dari praktek riba adalah:
1. Berperilaku boros
2. Terjadinya pemerasan orang kaya terhadap orang miskin
E. Dampak Riba dari Segi Persepsi
Akibat dari persesi yang seumpama ini akan sanggup menghancurkan hubungan sesama manusia. A.M. Saifuddin dalam hal ini memastikan bahwa:
Sistem riba akan memperlebar jurang pemisah antara sesama manusia, dan mempercepat proses pemelaratan dan kesengsaraan hidup, baik secara individu, jama’ah, negara maupun bangsa, akan metode yang berlaku bagi kemeslahatan segelintir insan pelaku riba, dan berakibat negatif bagi orang banyak karena menghancurkan moral, turunnya wibawa dan harga diri. Peredaran harta menjadi tidak merata, sementara perkembangan ekonomi terus berlangsung menuju tujuan akhir, sebagaimana kita saksikan kini ini yakni sentralisasi yang sungguh mayoritas di bawah tangan segelintir insan yang paling jahat dan paling tidak memeliki tanggung jawab moral dan tidak kenal haram dan halal.[7]
Dari uraian di atas sanggup dimengerti bahwa riba tidak cuma menghancurkan hubungan sesama insan secara pribadi, melainkan juga sanggup menghancurkan hubungan insan dengan sesamanya serta menghancurkan seluruh hubungan sosial kemasyarakatan yang di dasari sifat tamak dan loba dari para pemungut riba.
F. Dampak Riba dari Segi Rohani
Manusia diciptakan oleh Allah berisikan jasad dan roh. Manusia mesti senantiasa memperhatikan keseimbangan dua dimensi ini. Apabila dua dimensi ini sepadan maka insan akan menemukan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dimensi material (jasad) merupakan dimensi yang sanggup di kembangkan dengan menyanggupi keperluan gizi yang cukup dalam hidupnya. Sedangkan dimensi rohani (spiritual) yakni dimensi yang terpenting di penuhi kebutuhannya di bandingkan dengan dimensi material, karena dimensi rohani menyangkut dengan ketenangan jiwa, keamanan, ikhlas dan ketenteraman. Dimensi ini cuma sanggup dipenuhi dengan mentauhidkan Allah. Rasulullah mengajak para sahabatnya untuk senantiasa beriman terhadap Allah, mendekatkan diri kepadanya, melakukan segala sesuatu yang diridhai Allah, meyakini keEsaan Allah dan meminta tunjangan terhadap Allah
Adapun pengaruh riba bagi para pemakan riba dalam agama dan dari sisi rohani merupakan selaku berikut:
1. suatu tanda ketidakpatuhan terhadap syari’at Allah
2. Para pemakan riba tidak condong untuk menolong fakir miskin
3. Riba merupakan perbuatan yang bathil dan memperoleh siksa dari Allah
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian-uraian yang penulis kemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka pada penggalan terakhir ini penulis sanggup mengambil beberapa kesimpulan serta mengajukan beberapa saran.
A. Kesimpulan
1. Riba berasal dari bahasa arab, yakni ”masdar dari”(بوا- ربا ربا – ير) artinya bertambah, biak, bayaran lebih, keuntungan”[8] Abul A’la Al-Maududi menerangkan bahwa ”pokok kata Riba merupakan (الربا). Termasuk di dalam Al-Qur’ãn (رب) yang mengandung arti bertambah, berkembang, naik dan meninggi.
2. Dampak riba terhadap psikologi insan baik secara kognitif yakni berfikir yang tidak cocok dengan fitrah, berfikir egoisme dan berfikir taklid pada hawa nafsu. Dari sisi afektif yakni timbulnya sifat sombong, kikir dan sifat tamak. Dari sisi sikap merupakan bertingkah boros, pemerasan orang kaya terhadap orang miskin. Dari sisi persepsi merupakan berpandangan bahwa tujuan final dari hidup memperoleh harta sebanyak-banyaknya dengan tidak memperdulikan halal dan haramnya. Dari sisi rohani merupakan sebuah tanda ketidakpatuhan terhadap syariat Allah, dan terjadinya penyimpangan dalam mengerti agama dan juga riba merupakan perbuatan yang jelek yang memperoleh siksa dari Allah.
B. Saran-saran
1. Kaum muslimin mesti menyadari bahwa syari’at Islam sungguh menentang metode riba dalam segala bentuk dan tingkatannya, baik sedikit maupun banyak, baik diterapkan sebagaimana di zaman jahiliyah maupun yang diterapkan dengan cara terbaru seumpama dikala kini ini.
2. Diharapkan kaum muslimin bisa menghindarkan dirinya biar terbebas dari metode riba yang dikutuk oleh Allah dan Rasul-Nya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al- Qur’anulkarim dan Terjemahan Departemen Agama RI .
Abdurrahman Shaleh, Muhbib Abdul Wahab, Psikologi sebuah Pengantar dalam Perspektif Islam, Jakarta: Prenada Media, 2004
Ahmad M. Saefuddin, Ekonomi dan Masyarakat dan Perspektif Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 1987.
Anwar Iqbal Al-Qureshi, Islam dan Tiori Pembungaan Uang, Terj. M. Khalid B. Jakarta: Timtamas, 1985.
Fuad Mohd. Fachruddin, Riba Dalam Bank, Koperasi, Perseroan dan Asuransi, Cet. IV, Bandung: Alma’arif, 1993.
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cet. I, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2002.
Hobby : Kamus Populer, Jakarta: Central, 1977
Khalil Umam, Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, Surabaya: Ampel Suci, Desember 1994.
[1]Al-Marbawi, Kamus Al-Marbawi, Juz I, Cet. I, (Jakarta: Syari’ah Nur Assaqafah Al-Islamiyah, t.t.), hal. 225
[2]Abul A’la Al-Maududi, Riba, terj. Abdullah Sahili , Cet. III, (Jakarta: Hudaya, 1970),
hal. 89.
[3]M. Hasbi Ash- Shiddieqy, Al- Islãm, Cet. II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1956), hal. 630.
[4]M. Arifin dan Aminuddin Rasyad, Materi Pokok Dasar-dasar Pendidikan, Cet. VI, (Jakarta: Ditjen Binbaga Islam, 1997), hal. 117.
[5]M. Usman Najati, Psikologi dalam Tinjauan Hadith Nabi, terj. Wawan Djunaedi Soffandi, Cet. I, (Jakarta : Mustaqim, 2003), hal. 184.
[6]M. Arifin dan Aminuddin Rasyad, Materi Pokok Dasar-dasar Pendidikan, Cet. VI, (Jakarta: Ditjen Binbaga Islam, 1997), hal. 118.
[7]A.M. Saifuddin, Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam, Cet. I, (Jakarta: Rajawali, 1987 ), Hal. 233-234.
[8]Al-Marbawi, Kamus Al-Marbawi, Juz I, Cet. I, (Jakarta: Syari’ah Nur Assaqafah Al-Islamiyah, t.t.), hal. 225