Teori Lingkungan


BAB II
LANDASAN TEORITIS
Teori lingkungan juga disebut dengan teori behaviorisme Teori Lingkungan


A.    Teori Lingkungan
Teori lingkungan juga disebut dengan teori behaviorisme, penulis ingin menggunakan teori Behaviorisme, dimana teori ini menyebutkan bahwa lingkungan mensugesti kesuksesan pendidikan. Teori ini dipelopori Waston dan skinner. Ia berlainan dengan teori psikoanalisa yang di pelopori oleh Freud (1902-1904). Teori ini menampung andaian bahwa tingkah laris insan sanggup dilihat, diramal dan dikontroll. Pendukung teori behaviorisme menyerupai Gay (1989) menyaksikan tingkah laris membentuk personal selaku tindak balas terhadap rangsangan dibandingkan dengan pelajar. Teori ini menyatakan pembelajaran selaku perkaitan antara ransangan dan gerak balas. Apabila wujud kaitan antara kedua-duanya, maka pembelajaran berlaku. Karena sesuatu tingkah laris dikekalkan atau diteruskan lantaran mendapatkan peneguhan apakah ia secara positif atau secara negatif. Tumpuan utama dalam teori ini merupakan ransangan dalam lingkungan eksternal iaitu ransangan, apapun eksekusi dan adaptasi tingkah laku.
Leahey (2000), menyatakan teori behaviorisme menekankan pentingnya ulangan rangsangan dan respon lantaran ia sanggup mengukuhkan pembelajaran di samping memiliki lingkungan yang baik. Teori behaviorisme atau tingkah laris percaya bahwa aspek lingkungan yang memotivasikan pembelajaran, bukannya pemikiran. Semua punca dorongan pembelajaran merupakan tiba dari luar bagi individu.[1]
Teori neobehaviotisme juga dimengerti selaku teori sosial. Pendekatannya menggunakan pemikiran instrinsik. Pembelajaran dalam teori ini merupakan fungsi atau peranan interaksi individu, sikap dan lingkungan. Teori ini juga dikemukakan oleh Hergenhahn (1988) yakni pembelajaran sosial memalsukan persoalan yang diperhatikan. Menganggap pada biasanya sikap insan dipengaruhi oleh lingkungan  dan memperolehnya lewat interaksi sosial dengan orang lain.[2]
Tujuan pembelajaran dalam teori ini merupakan memainkan fungsi peranan gres dan tingkah laris yakni kesan pada kondisi sekeliling. Peranan fasilitator dalam teori ini merupakan memandu akseptor kearah tingkah laris yang positif, menjadi versi dan menampilkan tingkah laris yang baru. Perwujudan dalam pembelajaran siswa/anak-anak merupakan sosial, peranan bersosial, misalnya pergaulan dan bermasyarakat, pemudah cara atau penasehat serta konsentrasi dalam pengawalan. Kepelbagaian sikap dalam teori di bawah kondisi yang serupa sanggup diterangkan dengan persepsi terhadap sifat individu atau personalnya dan keunikan interaksi mereka dengan ransangan lingkungan. Teori ini menyokong pembelajaran siswa/anak-anak dengan puncak kepentingan dalam konteks sosial serta pertanda proses permodelan dan pengawalan. Program pembelajaran siswa/anak-anak tidak menggunakan cuma satu teori pembelajaran aja secara total dalam proses pengajaran.

B.    Lingkungan Tempat Tinggal dan Macam-macam Lingkungannya
Lingkungan tempat tinggal merupakan segala ssesuatu yang ada disekitar kita, baik itu benda, udara dan  hewan, tergolong manusia. Sebagaimana yang diungkapkan oleh H.A. Mustafa dalam Kamus Lingkungan, lingkungan tempat tinggal merupakan “kesatuan ruang dengan semua benda, daya kondisi dan makhluk hidup tergolong didalamnya insan dan prilakunya, yang mensugesti kelancaran perikehidupan dan kemakmuran insan serta makhluk hidup lainnya.”[3]
            Manusia hidup di bumi tidak sendirian, melainkan bareng makhluk lain, yakni tumbuhan, binatang dan jasad renik. Makhluk hidup yang lain itu bukanlah sekedar  kawan hidup yang hidup bareng secara netral atau pasif terhadap manusia, melainkan hidup insan itu terkait erat pada mereka. Tanpa mereka insan tidaklah sanggup hidup. Kenyataan ini dengan gampang sanggup kita lihat dengan mengandalkan di bumi ini tidak ada manusia. Begitu pula hal nya lingkungan tempat tinggal anak. Tidak bisa disangkal bahwa anak tidak dapat hidup tanpa adanya turut serta kiprah dari lingkungan tempat anak itu tinggal.
            Manusia berinteraksi dengan lingkungan hidupnya. Ia akan mensugesti dan dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya. Ia membentuk dan terbentuk oleh lingkungan hidupnya. Manusia menyerupai adanya. Hal ini menyerupai yang dikemukakan oleh Otto Sumarwoto, merupakan “perwujudan yang dihasilkan oleh interaksi sifat keturunan dengan aspek lingkungan.”[4] Sifat keturunan, yang terkandung dalam di dalam gen yang merupakan serpihan kromosum di dalam masing-masing sel tubuh, menegaskan potensi perwujudan manusia.
            Hubungan individu dengan lingkungannya ternyata tidak cuma berjalan sebelah, dalam arti cuma lingkungan saja yang memiliki imbas terhadap individu. Hubungan antara individu dengan lingkungannya terdapat kekerabatan yang saling timbal balik, yakni lingkungan sanggup mensugesti individu, namun sebaliknya individu juga sanggup kokoh dengan lingkungannya. Menurut  Abu Ahmadi menampilkan citra wacana bagaimana sikap individu terhadap lingkungan, selaku berikut.
(1) Individu menolak lingkungan, dalam hal ini lingkungan tidak cocok dengan yang ada dalam diri individu. Dalam kondisi yang tidak cocok ini individu sanggup menampilkan bentuk atau pergeseran lingkungan menyerupai yang diharapkan oleh individu tersebut; (2) Individu mendapatkan lingkungan, dalam hal ini sesuai dengan yang ada dalam diri individu. Dengan demikian individu akan mendapatkan lingkungan itu; (3) Individu bersikap netral, dalam hal ini individu tidak mendapatkan namun juga tidak menolak. Individu dalam kondisi netral.[5]

            Dalam Pembahasan ini lebih mementingkan imbas lingkungan terhadap perkembangan anak tergolong teori-teori tentang sosialisasi  yang bersifat sosiologis. Dalam teori perkembangan diterangkan bahwa “berkembangnnya potensi untuk bertingkah laku. Berjalan mesti dipelajari, bergaul dengan orang-orang lain juga mesti dipelajari, begitu pula berfikir secara logis.”[6] Ketiga hal ini memerlukan cara berguru yang berlainan. Otto Sumarwato menampilkan citra wacana potensi dalam bertingkahlaku yakni “Belajar berjalan merupakan cara berguru sensorik-motorik,  belajar bergaul tergolong berguru sosial dan berfikir secara logik tergolong berguru kognitif.”[7]
Manusia hidup di bumi ini tidak sendiri, melainkan bareng makhluk (manusia ) lain. Manusia yang lain bukan sekedar mitra hidup yang hidup bareng secara netral atau pasif terhadap insan lain, melainkan hidup insan itu terkait erat dengan bagaimana kehidupan insan lain.[8] Kenyataan ini dengan gampang sanggup kita lihat dengan mengandalkan bumi tidak ada insan lain.
            Lingkungan yang penulis maksudkan dalam observasi ini merupakan lingkungan tempat tinggal, yakni keadaan, sifat, karakter  dan sikap dibandingkan dengan insan pada suatu tempat yakni tempat dimana seseorang individu bergaul dan  bekerja sama dengan insan yang lain.
            Lingkungan tempat melangsungkan kehidupan insan tergolong orang arif balig cukup akal dan bawah umur memiliki dua, yakni lingkungan fisik dan lingkungan abstrak.

1. Lingkungan fisik,
Lingkungan yang berisikan objek, materi dan ruang. Lingkungan fisik yang berlainan akan mensugesti anak. Misalnya anak yang dibesarkan dalam lingkungan dengan objek yang serba mewah, alat mainan yang beragam serta ruang gerak yang luas akan lebih memungkinkan meningkat secara optimal bila dibandingkan dengan mereka yang serba kehabisan dan tinggal di rumah yang sempit.
            Lingkungan fisik juga berisikan lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Moh. Shoclihib, menuturkan bahwa “lingkungan fisik sanggup mengemas kebersamaan dalam mewujudkan nilai-nilai moral oleh anggota keluarga dengan cara melibatkan anak untuk menatanya.”[9] Hal ini perlu agar mereka merasa menegaskan penataannya sehingga memudahkan, utamanya orang renta anak,  menggugah anak untuk mewujudkan nilai-nilai moral yang dibungkus secara berasama-sama, dan memungkinkan adanya peluang diantara mereka untuk saling mencicipi dalam mewujudkan nilai-nilai moral bagi anak itu sendiri dalam keberagman, misalnya shalat berjamaah, membersihkan ruangan dan mejaga kesucian di ruangan rumah.
            Dengan demikian seluruh anggota keluarga sanggup tergugah untuk melaksanakan keharusan terhadap anak-anaknya yang sudah dibentuk bersama. Selanjutnya bagi penata lingkungan fisik untuk bawah umur mereka memperoleh keleluasaan untuk mengatur, orang renta cuma menolong jikalau penataan yang dilaksanakan oleh si anak dinikmati sanggup mengganggu, menghancurkan atau melanggar nilai-nilai moral.
            Pelibatan orang renta dalam menata lingkungan fisik tersebut bagi anak merupakan wahana untuk saling menerima, menautkan diri dan menghindarkan diri. Dengan demikian mereka merasa terpanggil dengan apa yang sudah dikontrol oleh anak itu sendiri sebelumnya. Begitu juga bagi anak yang menata ruangan untuk kepentingan yang tepat dengan selera dan dunianya. Hal ini sanggup membuat perasaan bahwa selera dan keinginannya sudah terealisasikan, misalnya dalam menata meja belajar, kamar, letak pakaian, tempat tidur dan sebagainya. Oleh lantaran itu bawah umur akan terpanggil untuk tetap mewujudkan nilai-nilai moral yang dibungkus dalam penataan fisik walaupun orang renta tidak ada di rumah.
            Begitu pula halnya lingkungan fisik di sekolah, bawah umur ditata oleh pendidik (guru) salah satunya dalam bidang kedisiplinan dalam belajar. Dengan kedisiplinan dalam belajar, dengan sendirinya ilmu yang ditemukan di sekolah tersebut akan bermutu, tidak kalah pendidikan yang bersifat ukhrawi, anak bisa menanamkan nilai-nilai agamis bagi dirinya, menyerupai moral, tatakrama, kesopanan dan bertingkah yang baik.
            Selain lingkungan keluarga dan sekolah yang bersifat fisik, juga ada lingkungan fisik dalam masyarakat. Bila anggota penduduk itu baik dan berpendidikan, maka dengan sendirinya anak yang ada dalam penduduk tersebut juga ikut baik, misalnya ada pengajian dalam penduduk dan ada kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya mendidik, sehingga anak tersebut bisa bertingkah dan moral yang baik.

2. Lingkungan Abstrak
Lingkungan anak yang sifatnya aneh sanggup berupa lingkungan sosial. Lingkungan sosial baik anak merupakan tempat anak beraktifitas, berisikan kegiatan, bermain, kebiasaan sehari-hari, dan upacara bersifat keagamaan. Misalnya anak yang kegiatan sehari-hari diisi dengan kegiatan yang bermakna misalnya bermain bareng dengan ibu, hasilnya akan lebih lebih bermutu dibandingkan dengan anak yang bermain sendiri.
Menurut Moh. Shoclib, menyebutkan bahwa “lingkungan sosial dalam keluarga sanggup mengemas makna kebersamaan diantara anggota keluarga lewat komunikasi yang sanggup saling mendatangkan orang renta dan anak.”[10] Bagi anak yang terlibat dalam berkomunikasi merupakan mengemas pesan makna terlarang terusik untuk mewujudkan nilai-nilai moral secara bersama-sama, utamanya pada di saat berkumpul, misalnya orang renta memancing untuk berdialog dan bagi si anak diberi keleluasaan berbicara. Pada di saat terjadi pembicaraan orang renta bisa membaca suasana dan kondisi keluarga sehingga sanggup mengemas nilai-nilai moral untuk direalisasikan dan menampung aturan-aturannya untuk tetap  berkomunikasi, misalnya pada di saat itu orang renta menyampaikan bahwa ruangan kotor sekali, dan sehingga gaduh, pada di saat mereka sedang istirahat, kondisi ini, oleh orang renta dikomunikasikan terhadap semua anggota keluarga untuk menegaskan cara yang terbaik untuk mengatasinya, dengan demikian akan terjadi pembicaraan diantara mereka untuk menegaskan aturan-aturan yang mengendalikan mereka dalam mempertahankan kebersihan dan ketertiban dalam keluarga serta bikin suasana dan kondisi yang tenteram pada di saat istirahat. Juga mereka terlibat secara intensif dalam berdialog. Hal itu memungkinkan mereka untuk secara bersama-sama mentaati aturan yang dibuat.
Dalam pembicaraan maka bikin aturan-aturan tersebut, secara tersirat mereka sudah menghayatinya dalam dunianya  yang relatif sama. Dengan demikian dalam dialognya sudah dihadirkan konferensi makna sehingga substansi esensial adanya kebersamaan dalam mewujudkan nilai-nilai moral tersebut. Sehubungan dengan itu  mereka saling beridentifikasi diri dalam memilki sikap dan pendirian untuk mewujudkan nilai-nilai moral yang sepantasnya dilaksanakan secara bersama-sama oleh anggota keluarga.
Begitu pula kondisi anak di lingkungan sosial di sekolah dan masyarakat. Di lingkungan sekolah ada guru (pendidik) bisa menghidupkan diri anak dengan nilai-nilai moral. Dalam lingkungan sosial penduduk juga bisa dilaksanakan hal yang serupa dengan lingkungan keluarga dan sekolah, bila di lingkungan penduduk kehidupannya semberaut, artinya tidak ada orang yang patut dicontohi oleh anak, maka anak tersebut juga akan kokoh terhadap sikap dan nilai-nilai moral.

C.    Pengaruh Lingkungan terhadap Karakter Siswa
Lingkungan tempat kelancaran hidup manusia, sungguh menegaskan abjad anak, baik lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Bila ketiga lingkungan ini bagus, maka dengan sendirinya juga abjad anak akan terbawa untuk bagus, begitu pula sebaliknya. Perkembangan anak lebih menitik beratkan kiprah lingkungan dan pengalaman ketimbang psikologi anak. pastinya hal ini tidak memiliki arti bahwa psikologi anak mengabaikan kiprah lingkungan dan pengalaman, namun pementingan hal tersebut lebih kurang dibandingkan dengan yang dilaksanakan para andal psikologi perkembangan.
Elizabeth Horlock, menyebutkan bahwa “perkembangan anak penekanannya merupakan pada bagaimana seorang anak berbicara, pola karakteristik cara mereka berguru berbicara, dan kondisi yang memunculkan kombinasi dalam pola karakteristik.”[11] Perkembangan anak menampilkan suatu proses tertentu, yakni suatu proses yang menuju ke depan dan tidak sanggup begitu saja di ulang. Dalam perkembangan terjadi perubahan-perubahan yang sedikit banyak bersifat tetap dan tidak sanggup diputar kembali.
Pertumbuhan fisik memang mensugesti perkembangan psikologik. Bertambahnya fungsi-fungsi otak memungkinkan anak sanggup tersenyum, berjalan, bercakap dan lain sebagainya. Kemampuan berfungsi dalam tingkat yang lebih tinggi ini selaku hasil pertumbuhan, sanggup disebut kemasakan.
Pengaruh lingkungan terhadap karakteristik anak merupakan pada pola asuh anak, baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Anak yang gres lahir merupakan dalam kondisi suci, lingkunganlah yang menegaskan baik atau tidaknya abjad anak tersebut
Langkah permulaan dalam membentuk abjad anak merupakan bagaimana anak tersebut cara berinteraksi dengan lingkungannya dan bagaimana hasilnya atau konsekuensi dari interaksi tersebut. Dengan berkembangnya lingkungan maka meningkat pula minat seseorang. Para pendidik yang melakukan pekerjaan dengan anak semestinya memperhatikan lingkungan anak. Anak pada usia tersebut memiliki pengalaman bareng keluarga, lingkungan rumah, seman sebaya, orang arif balig cukup akal yang lain dan lingkungan sekolah. Pengalaman dan lingkungan anak yang dialaminya merupakan saling berinteraksi antara satu dengan lainnya.
Soemiarti Patmono Dewo dalam bukunya Pendidikan Anak Prasekolah, menyebutkan bahwa “perkembangan anak yang dihubungkan pada interaksi anak dengan lingkungannya secara terus menerus saling mensugesti satu sama lain secara transaksional”.[12]
Lingkungan anak di rumah merupakan lingkungan pertama. Dengan meningkatnya usia, anak akan mengenal teman dekat sebaya di luar rumah atau dari lingkungan tetangga. Selanjutnya anak akan masuk lingkungan sekolah, dimana mereka akan mengenal pula teman dekat sebaya. Dari sinilah adat dan prilaku anak bergantung pada lingkungan, bila lingkungan tempat berada si anak itu baik, maka baik pula prilaku anak, begitu pula sebaliknya.
Lingkungan anak berisikan tiga lapisan yang masing mengandung lingkungan ekologi yang berorientasi pada:
1.     Lingkungan fisik, yang berisikan objek, materi dan ruang. Lingkungan fisik yang berlainan akan mensugesti anak. Misalnya anak yang dibesarkan dalam lingkungan dengan objek yang serba mewah, alat mainan yang beragam serta ruang gerak yang luas akan lebih memungkinkan meningkat secara optimal bila dibandingkan dengan mereka yang serba kehabisan dan tinggal di rumah yang sempit.
2.     Lingkungan yang bersifat aktivitas, berisikan kegiatan, bermain, kebiasaan sehari-hari, dan upacara bersifat keagamaan. Misalnya anak yang kegiatan sehari-hari diisi dengan kegiatan yang bermakna misalnya bermain bareng dengan ibu, hasilnya akan lebih lebih bermutu dibandingkan dengan anak yang bermain sendiri.
3.     Berbagai orang yang ada di sekeliling anak yang sanggup dibedakan dalam usia, jenis kelamin, pekerjaan, status kesehatan dan tingkat pendidikannya. Lingkungan anak akan lebih baik bila orang-orang di sekitarnya berpendidikan dibandingkan dengan lingkungannya terdiri orang yang tidak pernah mengikuti pendidikan formal.
4.     Sistem nilai, sikap dan norma. Ekologi anak akan lebih baik  apabila anak diasuh dalam lingkungan yang menanamkan disiplin yang konsisten, dibandingkan bila mereka tinggal dalam lingkungan yang tidak menentu aturannya.
5.     Komunikasi antara orang disekelilingnya akan menegaskan perkembangan sosial dan emosional anak.
6.     Hubungan yang hangat dan anak merasa kebutuhannya tercukupi oleh lingkungannya, akan menciptakan perkembangan kepribadian yang lebih mantap dibandingkan apabila relevansinya lebih banyak mendatangkan kecemasan.[13]

D.    Pengaruh Lingkungan Terhadap Prestasi Belajar Siswa
Dalam mengembangkan prestasi berguru di suatu lingkungan sekolah, pastinya dipengaruhi oleh beberapa hal yang berafiliasi erat dengan kenaikan prestasi antara lain adalah:
Menurut Thoha ada empat aspek yang mensugesti kenaikan prestasi belajar, yaitu:



a.     Faktor Psikologis
Prestasi seorang siswa dalam berguru dipengaruhi oleh kondisi psikologis atau kejiwaan. Pengalaman mental merupakan salah satu aspek bagi seorang guru merupakan menganggap dan merespon suatu masalah. Kondisi psikologis yang sedang damai akan menciptakan asumsi yang rasional, sehingga prestasi yang diharapkan sungguh-sungguh tinggi. Bila kondisi siswa sedang bahagia ia akan berpikir yang bagus tentang berguru di sekolah.[14]

b.    Faktor Keluarga
Keluarga merupakan tempat pertama kali siswa berguru segala sesuatu. Pola pikiran orang renta pelan-pelan akan ikut juga mewarnai pola pikiran anaknya. Bila orang renta menatap segala sesuatu persoalan dari sudut pandang yang positif dan objektif, hal itu akan kokoh pada pola pikir anaknya dimasa mendatang.[15] Rasulullah Saw bersabda:
كل مولديو على الفطرة. فأبوه يهود نه أومحسا نه (رواه بخرى)
Artinya “Setiap anak dilahirkan dalam kondisi suci, maka orang tuanya lah yang bikin beliau menjadi yahudi, atau memajusi atau nasrani.” (Bukhari)[16]


c.     Faktor Kebudayaan
Kebudayaan dan lingkungan tempat berkembang dan meningkat juga merupakan salah satu aspek pembentukan prestasi dalam diri siswa. Budaya yang berada titempat tinggal siswa itu menjadi aspek yang paling utama untuk mendorong siswa berprestasi lantaran apabila tempat tersebut budaya tidak memihak terhadap pendidikan maka akan bikin siswa males sekolah, menyerupai siswa yang bermukim di pinggir pantai mereka lebih memusatkan untuk mencari duit dibandingkan ke sekolah.

d.    Karakteristik Guru
Karakteristik guru menampilkan imbas yang amat besar terhadap prestasi siswa. Sebab guru merupakan salah aspek yang menegaskan siswa sanggup menjangkau prestasi yang lebih baik.
            Berdasarkan klarifikasi di atas, sanggup ditarik kesimpulan bahwa prestasi seorang siswa sungguh dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain:
1.     Faktor psikologis, tergolong emosional, keluarga dan lingkungan.
2.     Faktor karakteristik guru yang intinya berlainan dan unik dari guru lain.
3.     Faktor analisa guru itu sendiri terhadap objek yang diamati menurut hasil pendidikan, kebiasaan dan ketentuan yang berlaku dalam lingkungan tempat guru itu berkembang dan berkembang.[17]

Meningkatkan prestasi siswa merupakan kiprah dan tanggung jawab guru yang mesti dilaksanakan jikalau terdapat siswa yang bandel dalam belajar. Namun dalam melaksanakan kerja keras mengembangkan prestasi siswa[18], maka guru menggunakan beberapa cara, antara lain:

1.     Memberi angka
Angka dalam hal ini selaku simbol dari nilai kegiatan belajarnya. Banyak siswa berguru yang utama justru untuk meraih angka atau nilai yang baik. Angka-angka yang bagus itu bagi para siswa merupakan motivasi yang sungguh kuat. Namun demikian yang mesti diingat  oleh guru bahwa pencapaian angka-angka menyerupai itu belum merupakan hasil berguru yang sejati, hasil berguru yang bermakna.

2.     Memberi Hadiah
Hadiah sanggup juga dibilang selaku motivasi, namun tidaklah senantiasa demikian. Karena kado untuk suatu pekerjaan, mungkin tidak akan menawan bagi seseorang yang tidak bahagia dan tidak berbakat untuk sesuatu pekerjaan tersebut.

3.     Memberatkan Saingan/Kompetisi
Saingan atau kompetisi sanggup digunakan selaku alat motivasi untuk mendorong berguru siswa. Persaingan, baik kompetisi perorangan maupun kompetisi kalangan sanggup mengembangkan prestasi berguru siswa.

4.     Memberi Materi Ulangan
Para siswa akan menjadi ulet berguru jikalau mengenali akan ada ulangan. Oleh lantaran itu, memberi ulangan merupakan fasilitas motivasi, namun menampilkan ulangan jangan terlalu sering, lantaran siswa bisa jenuh dan bersifat rutinitas.

5.     Mengetahui Hasil
Dengan mengenali hasil pekerjaan, terlebih kalau terjadi kemajuan, akan mendorong siswa untuk lebih ulet belajar. Semakin mengenali bahwa grafik hasil berguru meningkat, maka motivasi pada diri siswa untuk terus berguru dengan suatu kesempatan hasilnya terus meningkat.

6.     Memberi Pujian
Pujian merupakan benyuk motivasi yang positif sekaligus umpan balik yang baik. Oleh lantaran itu, agar kebanggaan ini merupakan motivasi, pemberiannya mesti tepat.

7.     Memberi Hukuman
Hukuman selaku reinforcement yang negatif kalau diberikan secara sempurna dan bijak maka sanggup menjadi alat motivasi. Tetapi guru mesti mengerti prinsip-prinsip proteksi hukuman.sebagai mana fiman Allah SWT selaku berikut:
>&2  A#ä bqãù ûï%!#r `B Og=6% 4 (#q/. $ZG»ƒ$«/ Nd{'ù !$# Nk5qR/ 3 !#r ƒ© >$)è9#  ( ال عمر: ۱۱)
Artinya: "(Keadaan mereka) merupakan selaku kondisi kaum Fir'aun dan orang-orang yang sebelumnya; mereka mendustakan ayat-ayat Kami; Karena itu Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosa mereka. dan Allah sungguh keras siksa-Nya." (Q.S. Ali-Imran: 11)


8.     Menumbuhkan Hasrat untuk Belajar
Hasrat untuk berguru memiliki arti pada diri anak didik itu memang ada motivasi untuk belajar, sehingga sudah barang tentu hasilnya akan lebih baik.

9.     Menumbuhkan Minat
Motivasi sungguh erat relevansinya dengan unsur minat. Motivasi timbul lantaran ada keperluan proses berguru mengajar akan berjalan tanpa hambatan kalau disertai dengan minat. Minat antara lain sanggup dibangkitkan dengan cara-cara selaku berikut:
a)     Membangkitkan adanya suatu kebutuhan.
b)    Menghubungkan dengan persoalan pengalaman yang lampau.
c)     Memberikan peluang untuk mendapatkan hasil yang baik.
d)    Menggunakan banyak sekali macam bentuk mengajar.

10.  Menunjukkan Tujuan yang Diakui
Rumusan tujuan yang diakui dan diterima baik oleh siswa, akan merupakan alat komunikasi yang sungguh penting. Sebab dengan mengerti tujuan yang mesti dicapai, lantaran dirasa sungguh mempunyai kegunaan dan menguntungkan, maka akan timbul gairah untuk terus belajar.
Bermacam-macam motivasi itu sanggup dikembangkan dan diarahkan untuk melahirkan hasil berguru yang bermakna. Pada mulanya, siswa termotivasi untuk tekun belajar, namun guru juga berperan untuk mengembangkan motivasi siswa dari tahap tekun berguru ke arah kegiatan berguru yang dapat mengerti isi dari pelajaran yang didapati sekolah

E.    Aspek yang Berpotensi untuk Meningkatkan Keberhasilan Siswa
1. Pendidikan Anak
Pembentukan prilaku anak merupakan semata-mata dengan menampilkan pendidikan terhadap anak trersebut, lantaran tidak dapat disangkal bahwa anak yang tidak berpendidikan jauh lebih berlainan dengan anak yang berpendidikan. Pendidikan sungguh menunjang dalam perkembangan prilaku anak.
Pendidikan permulaan yang diperkenalkan terhadap anak merupakan pendidikan yang menyangkut dengan keagamaan, menyerupai ilmu tauhid, ilmu adat dan ilmu yang lain yang ada kaitannya dengan pembentukan prilaku dirinya. Dalam pendidikan inilah langkah pertama dalam memperkenalkan bagaimana cara bergaul, cara bersikap terhadap orang, terhadap adik seluruh keluarganya, dan terhadap teman dekat sebaya, begitu pula pendidikan yang menyangkut dengan moral.
Setelah kita memperkenalkan ilmu tersebut terhadap anak, barulah kita ajarkan ilmu yang bersifat lazim menyerupai ilmu sosial, agar ia bisa berinteraksi dengan lingkungannya. Kalau ilmu sudah melakat pada dirinya, maka dalam kehidupan sehari-hari juga terlaksana dengan baik.
Setiap muslim juga diajarkan untuk bisa menampilkan percontohan yang bagus pada orang lain. Kebaikan yang dimaksud tentulah kebaikan sesuai dengan fatwa Allah SWT. Penampilan sederhana walau memiliki banyak harta lebih terpuji dari keangkuhan dan sikap pamer yang mendatangkan hati ceburu pada yang lain.

2. Perhatian Orang Tua
Anak-anak yang saban hari bareng orang renta berlainan dengan bawah umur yang sering ditinggal oleh orang tuanya. Peran orang disini merupakan mengontrol setiap apa yang dilaksanakan oleh anak, serta memantau setiap kesalahan yang dilaksanakan anak, mulai dari sehabis bangun tidur apakah anak tersebut membenahi tempat tidurnya, begitu pula hal-hal yang lain hingga terhadap persoalan disekolah orang renta memperhatikannya.
Bila kegiatan ini dimulai sejak dini, maka hingga ia arif balig cukup akal akan terbawa semua hal yang sudah diarahkan oleh tuanya sejak kecil. Maka oleh lantaran itu perhatian orang renta terhadap anak tidak pernah luput dari kehidupan anak-anak. Bila anak tidak pernah diamati oleh orang tua, maka hidupnya amburadul, bisa melaksanakan semua hal yang beliau harapkan tanpa membentengi apakah hal itu dapat dilaksanakan atau tidak. Anak yang demikian gampang sekali terjerumus pada kenakalan remaja di kala ia besar kelak.
Kenakalan remaja merupakan perbuatan yang tidak baik dilaksanakan oleh para remaja. Soedarsono dalam bukunya Kenakalan Remaja, menyebutkan  bahwa:
kenakalan remaja merupakan termasuk perbuatan-perbuatan anak remaja yang berlawanan dengan kaidah-kaidah aturan tertulis, baik yang terdapat dalam pidana khusus maupun perundang-undangan di luar pidana. Dapat pula terjadi perbuatan remaja tersebut berupa anti sosial yang membuat kerisauan pada penduduk pada umumnya, akan namun tidak tergolong delik pidana lazim maupun pidana khusus.[19]
Selain yang sudah disebutkan oleh Soedarsono di atas, ada juga perbuatan anak remaja yang bersifat anti susila menyerupai durhaka pada kedua orang tuanya, sesama kerabat saling bermusuhan, selain itu sanggup dibilang kenakalan remaja, jikalau perbuatan tersebut berlawanan dengan norma-norma agama yang dianutnya, misalnya remaja muslim enggan berpuasa, padahal sudah tamyis bahkan sudah baligh, dan sebagainya.
Agar anak bisa hidup dengan rukun dengan orang tuanya, dengan sesama orang lain dan sebagainya, maka diperlukan perhatian orang sejak beliau usia dini. Karena pada usia permulaan kita selaku orang renta gampang dalam mengarahkan anak tersebut.

F.    Upaya-Upaya dalam Meningkatkan Minat Belajar Siswa
Dalam proses pembelajaran, menuntut kesanggupan guru dan tenaga kependidikan yang lain untuk senantiasa kaya akan inisiatif, kreatif, dan berkolaborasi agar bisa menantang para siswa bebuat (belajar) lebih optimal. Perbuatan yang optimal akan terjadi apabila guru bisa memfasilitasi banyak sekali sumber berguru yang sanggup digunakan siswa. Fasilitas yang dilaksanakan guru tidak cuma akan mengembangkan optimalisasi perbuatan berguru siswa, namun juga akan menolong mengembangkan minat siswa dalam belajar. Untuk itu diharapkan banyak sekali pengembangan sumber berguru agar secara sinergi bisa mengoptimalkan proses berguru siswa sekaligus mengembangkan minatnya untuk belajar.[20]
Upaya guru dalam mengembangkan minat berguru siswa, juga mesti memperhatikan tingkat kematangan siswa dalam belajar. Dimana siswa tersebut bisa dibilang selaku masa remaja yang merupakan masa peralihan dari masa anak ke masa dewasa. Pada periode ini anak meraih kematangan fisik dan diharapkan pula disertai dengan kematangan emosi dan perkembangan sosialnya. Masa ini berjalan dari usia sekitar 12/13 tahun hingga 18-20 tahun yakni usia sekolah menengah. Karena masa peralihan maka remaja pada biasanya masih bimbang akan kiprahnya dan membuat krisis identitas. Remaja sedang mencari ”siapakah saya, apa kiprah saya?” Dalam kerja keras mendapatkan jati diri yakni mengenali tentang kebutuhan-kebutuhan pribadi serta tujuan yang ingin diraih dalam hidupnya, maka pengembangan minat dan bakat remaja menjadi isue yang penting. Dalam berbagi kompetensinya remaja tetap memerlukan tutorial dari orang renta dan lingkungan rumah maupun sekolah.[21]
Setiap anak memiliki keunggulan dan bakat yang sebagian sudah bisa terlihat atau ditengarai pada usia dini. Namun tidak jarang pula masih ada kesanggupan dan bakat lain yang gres timbul di usia remaja atau bahkan pada periode perkembangan lebih lanjut. Usia remaja merupakan periode perkembangan dengan kesempatan tahu yang tinggi, khususnya untuk banyak sekali area yang berhubungan dengan kehidupan remaja. Hal-hal apa dan dengan siapa remaja bergaul, kegiatan yang ada dalam lingkup kesibukannya sehari-hari dapat menjadi permulaan untuk menelusuri dan berbagi banyak sekali minat yang mungkin pada usia lebih muda belum nampak atau belum menjadi konsentrasi perhatiannya. Rasa ingin tahu remaja terkadang disertai dengan keperluan untuk menjajal atau melakukannya. Oleh karenanya dengan tutorial guru yang terarah, masa remaja dapat menjadi masa yang menguntungkan untuk siswa berbagi bakat dan kesanggupan tertentu dalam mengembangkan minat berguru siswa.
            Beberapa hal yang perlu dilaksanakan oleh guru, orang renta dan lingkungan dekat siswa untuk berbagi minat berguru merupakan :
a.      Sejak usia dini cermati banyak sekali kelebihan, keahlian dan kesanggupan yang terlihat menonjol pada anak.
b.     Bantu anak meyakini dan konsentrasi pada keunggulan dirinya
c.      Kembangkan rancangan diri positif pada anak.
d.     Perkaya anak dengan banyak sekali wawasan, pengetahuan serta pengalaman di banyak sekali bidang.
e.      Usahakan banyak sekali cara untuk mengembangkan minat anak untuk berguru dan menekuni bidang keunggulannya serta bidang-bidang lain yang berkaitan.
f.       Tingkatkan motivasi anak untuk berbagi dan melatih kemampuannya.
g.      Stimulasi anak untuk meluaskan kemampuannya dari satu bakat ke bakat yang lain.
h.     Berikan penghargaan dan kebanggaan untuk setiap kerja keras yang dilaksanakan anak
i.       Sediakan dan fasilitasi fasilitas bagi pengembangan bakat.
j.       Dukung anak untuk menanggulangi banyak sekali kesusahan dan persoalan dalam berbagi bakatnya
k.     Jalin kekerabatan baik serta erat antara orang tua/guru dengan anak & remaja.[22]

Ada juga hal-hal lain yang perlu dicermati dalam mengembangkan minat berguru siswa yaitu:

a.      Mengikuti minat teman
Usia remaja merupakan masa perkembangan yang ditandai dengan solidaritas tinggi terhadap teman-teman sebayanya. Remaja yang kurang mengerti siapa dirinya, memiliki keperluan yang besar untuk berada dan diakui dalam kelompoknya. Hal ini terkadang bikin remaja mengikuti minat temannya, menegaskan bidang yang bahu-membahu kurang sesuai dengan bakat serta minat pribadinya. Untuk menegaskan bidang-bidang yang hendak dikembangkannya, remaja perlu berdiskusi, mencari masukan dan bertukar pikiran dengan orang tuanya.



b.     Penelusuran minat & bakat secara dangkal
Memperhatikan keunggulan dan minat anak memerlukan kerja keras yang serius dan berkesinambungan. Penelusuran dan penjajakan yang dangkal sanggup menyesatkan, misalnya, ”Saya merasa bakat saya di bidang musik lantaran saya suka sekali mendengar musik”.”Saya suka traveling dan nampaknya menggembirakan menjadi pemandu wisata, bisa jalan-jalan makanya saya akan menegaskan sekolah pariwisata”, ”Saya bahagia masak, lulus Sekolah Menengah Pertama saya akan menegaskan Perhotelan”. Alasan-alasan untuk menegaskan studi lanjutan sebagaimana pada pola tersebut tidak cukup kuat, dan memerlukan pencarian yang lebih jauh, baik untuk bidang studi yang hendak diseleksi maupun dari kemampuan, minat serta kepribadian remaja.
Dengan berbagi minat dan bakat serta menampilkan tutorial karir sejak dini, remaja akan makin menyadari tentang apa yang ia suka dan bisa lakukan, dan akan menjadi lebih terang pendidikan atau pekerjaan apa yang mungkin akan ditekuninya disertai dengan pengertian wacana kekuatan dan kelemahannya, sehingga ia bisa menegaskan opsi yang sempurna dan mempersiapkan diri untuk menggapai impiannya.

G.   Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pendidikan
a.  Faktor dari Luar
1.     Faktor Environmental input (Lingkungan)
Kondisi lingkungan juga mensugesti proses dan hasil belajar, lingkungan ini sanggup berupa lingkungan fisik/alam dan lingkungan sosial, lingkungan fisik/alami tergolong di dalamnya merupakan menyerupai kondisi suhu, kelembaban, kepengapan udara, dan sebagainya. Belajar pada kondisi udara yang segar, akan lebih baik hasilnya dari pada berguru dalam kondisi udara yang panas dan pengap. Di Indonesia misalnya, orang condong beropini bahwa berguru pada pagi hari lebih baik hasilnya dibandingkan dengan berguru pada siang hari.[23]
Lingkungan sosial baik yang berwujud insan maupun hal-hal lainnya, juga sanggup mensugesti proses dan hasil belajar. Seseorang yang sedang berguru memecahkan soal yang rumit dan memerlukan konsetrasi tinggi, akan terganggu, bila ada orang lain yang mondar mandir didekatnya, keluar masuk kamarnya, atau bercakap-cakap yang cukup keras di dekatnya. Representasi insan seperti, potret, rekaman, tulisan, dan sebagainya juga berpengaruh. Dalam banyak hal, pengaruhnya bersifat negatif (meskipun ada juga orang yang sanggup berguru jikalau menyimak bunyi rekaman, radio, dan sebagainya) namun itu relatif sedikit.
Lingkungan sosial yang lain, menyerupai suatu mesin pabrik, hiruk pikuk lalulintas, gemuruhnya pasar, dan sebagainya juga kokoh terhadap proses dan hasil belajar. Karena itulah diusulkan agar lingkungan sekolah diresmikan di tempat yang jauh dari hiruk pikuk pabrik, lalu-lintas dan pasar. Lingkungan sosial yang jorok pun sanggup mengusik belajar, misalnya dekat dengan lokasi WTS.

2.     Faktor-faktor Intrumental
Faktor-faktor instrumental merupakan aspek yang eksistensi dan penggunaannya dirancangkan sesuai dengan hasil berguru yang diharapkan sanggup berfungsi selaku fasilitas untuk tercapainya tujuan-tujuan berguru yang sudah dirancangkan.[24]
Faktor-faktor instrumental ini sanggup berwujud faktor-faktor keras (hardware) seperti:
1.     Gedung peralatan belajar
2.     Alat-alat praktikum
3.     Perpustakaan dan sebagainya.[25]
Maupun faktor-faktor lunak (software) seperti:
1.     Kurikulum
2.     Bahan/program yang mesti dipelajari
3.     Pedoman-pedoman berguru dan sebagainya.[26]
Ketersediaan sarana-sarana yang bersifat instrumental sungguh menegaskan dalam proses pembelajaran. Tanpa adanya faktor-faktor instrumental ini tentu tujuan-tujuan belajar, mulai dari tujuan pribadi hingga tujuan nasional tidak akan tercapai.

b.     Faktor dari dalam
Faktor dari dalam kondisi individu atau anak yang berguru itu sendiri, aspek individu sanggup dibagi menjadi dua serpihan yaitu:

a.      Kondisi fisiologis anak
Secara lazim kondisi fisiologis, menyerupai kesehatan yang prima tidak dalam kondisi capai, tidak dalam kondisi cacat jasmani, menyerupai kakinya atau tangannya (karena ini akan mengusik kondisi fisiologis), dan sebagainya akan sungguh menolong dalam proses dan hasil belajar. Anak yang kehabisan gizi misalnya, ternyata kesanggupan belajarnya berada di bawah bawah umur yang tidak kehabisan gizi, lantaran mereka yang kehabisan gizi biasanya condong lekas lelah, capai, gampang mengantuk dan alhasil tidak gampang dalam mendapatkan pelajaran. Disamping kondisi yang biasa tersebut, yang tidak kalah pentingnya dalam imbas proses dan hasil berguru merupakan kondisi pancaindera, utamanya indera pandangan dan pendengaran. Sebagian besar orang melaksanakan kegiatan berguru dengan memanfaatkan indera pandangan dan pendengaran. Membaca menyaksikan pola atau model, melaksanakan abservasi, memperhatikan hasil-hasil eksperimen, menyimak keterangan guru, menyimak ceramah, menyimak keterangan orang lain dalam diskusi, nyaris tidak sanggup lepas dari indera pandangan dan pendengaran.

b.     Kondisi psikologis
1.     Minat
Kalau seseorang tidak berhasrat untuk mempelajari sesuatu, ia tidak sanggup diharapkan akan sukses dengan baik dalam mempelajari hal tersebut. Sebaliknya kalau seseorang mempelajari sesuatu dengan minat, maka hasil yang diharapkan akan lebih baik, jikalau setiap pendidik menyadari hal ini, maka persoalan yang timbul merupakan bagaimana mengusahakan agar hal yang dihidangkan selaku pengalaman berguru itu sanggup menawan perhatian para pelajar atau bagaimana caranya menegaskan agar para pelajar mempelajari hal-hal yang menawan perhatian mereka.

2.     Kecerdasan
Telah menjadi pengertian yang ralatif lazim bahwa kecerdasan memegang peranan besar dalam menegaskan sukses tidaknya seseorang mempelajari sesuatu ataumengikuti sesuatu jadwal pendidikan. Oarang yang lebih pintar pada biasanya akan lebih bisa berguru dari pada orang kurang cerdas. Kecerdasan seseorang biasanya sanggup diukur dengan menggunakan alat tertentu. Hasil dari pengukuran kecerdasan biasanya dinyatakan dengan angka yang menampilkan perbandingan kecerdasan yang terkenal dengan istilah Intelligence Quotient (IQ)
3.     Bakat
Di samping inteligensi, bakat merupakan aspek yang besar pengaruhnya terhadap proses dan hasil berguru seseorang, nyaris tidak ada orang yang membantah, bahwa berguru pada bidang yang tepat dengan bakat akan memperbesar kemungkinanberhasilnya kerja keras itu. Anak yang memiliki bakat yang tiggi, disebut anak berbakat.
Secara defenitif, anak berbakat merupakan mereka yang oleh orang-orang yang berkualifikasi profesional di indetifikasikan selaku anak yang dapat meraih prestasi yang tinggi.[27] Anak tersebut merupakan anak yang memerlukan jadwal pendidikan berferensiasi dan pelayanan di luar jangkauan jadwal sekolah bisa, untuk mereliasasikan sumbangannya terhadap penduduk maupun terhadap dirinya. Mereka ini oleh Getzels ditandai dengan ciri-ciri antara lain adanya dorongan ingin tahu, juga oleh renpon yang mencukupi kecerdasan dan kenangan kokoh utamanya oleh:
a.      Kemampuan untuk melakukan pekerjaan secara independent
b.     Kemampuan untuk berkosentrasi dalam rentang waktu yang lama
c.      Seleksi balasan yang sukar dalam menghadapi masalah
d.     Kemampuan mengkaji persoalan secara kritis bukan untuk menentang, namun untuk memahami
e.      Kemampuan untuk mengadakan generasisasi
f.      Pengembangan sensitivitas wacana baik dan jahat
g.     Sensitivitas terhadap orang lain
h.     Memiliki impian tinggi (great ideas).[28]

4.     Motivasi
Motivasi merupakan kondisi psikologi yang mendorong seseorang untuk melaksanakan sesuatu.[29] Jadi, motivasi untuk berguru merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk belajar. Penemuan-penemuan observasi bahwa hasil berguru pada biasanya meningkat jikalau motivasi berguru bertambah. Oleh lantaran itu mengembangkan motivasi berguru anak didik memegang peranan penting untuk meraih hasil belajar  yang optimal. Motivasi merupakan dorongan yang ada dalam individu, namun hadirnya motivasi yang kokoh ataun lemah, sanggup ditimbulkan oleh rangsangan dari luar.

5.     Kemampuan-kemampuan kognitif
Kemampuan-kemampuan kognitif yang utamanya adalah:
a.   persepsi
b.  ingatan
c.   berfikir,[30]
Kemampuan seseorang dalam melaksanakan persepsi, mengingat, dan befikir sungguh mensugesti belajar. Setelah dimengerti beberapa aspek yang mensugesti proses hasil berguru menyerupai diuraikan di atas, maka hal penting untuk dilaksanakan bagi para pendidik, guru, dosen, orang tua, dan sebagainya merupakan mengendalikan faktor-faktor tersebut yang memiliki imbas dalam meraih hasil berguru yang optimal. Misalnya kalau mengenali bahwa tempat yang gaduh tidak baik untuk belajar, maka jangan melaksanakan kegiatan belajar  di tempat yang ramai, dan sebagainya. Dewasa ini banyak guru yang terpaku dengan tata cara berguru yang monoton


















[1]Leahey, H. A Histories Of Psychology, Main Currents In Psychology Thouqht, (Singapore: Pearson Education Asia Pte- Ltd, 2000), hal 145

[2]Hergenhahn. B.R. An Introduction To Theories Of Learning, 3rd ed,(New Jessey: Printice Hall, 1988), hal. 467
[3]A. Mustofa, Kamus Lingkungan, Cet.I, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal.69
 
[4]Otto Sumarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, (Jakarta: Imagraf, 2004)

[5]Abu Ahmadi, Psikologi Umum, (jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal 67
[6]Otto Sumarwoto, Ekologi Lingkungan…, hal. 52

[7]Ibid., hal. 50.

[8]Ibid., hal. 54
[9]Moh. Shoclib, Pola Asuh Orang Tua dalam Membantu Anak Meningkatkan Disiplin Diri, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hal. 67
[10]Ibid., hal. 69
[11]Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 1978), hal. 3
[12]Soemiarti Patmono Dewo, Pendidikan Anak Prasekolah, Cet.II, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 45
[13]Ibid., hal. 48

[14]Thoha, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 55

[15]Ibid., hal. 56

[16] Iman Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Daar Al-kutub, t.t.) hal. 501

[17]Ibid., hal. 57

[18]Roestiyah N. K., Strategi Pengajaran Ilmu Eksact, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hal. 45
[19]Soedarsono, Kenakalan Remaja, Cet. IV, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hal. 13
[20]H. Ase S. Muchyidin,”Pengembangan Sumber Belajar dan Upaya-upaya Peningkatan Minat Belajar Siswa”,t.t.

[21] Dryen, Gordon. dan Vos, Jeannette, Revolusi Cara Belajar (The Learning Revolution) Belajar akan Efektif Kalau dalam Keadaan “Fun”. Bagian II: sekolah masa depan.(Bandung: Kifa PT. Mizan Pustaka, 1999),hal 3


[22] Emilia Naland, M.Si, ” Mengembangkan Minat .......... hal. 3
[23]Wanardi, Sumarto, Muchlidawati, Pelaksanaan Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup, (Jakarta: Depdikbud, 1997), hal. 82
[24] Sardirman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengaja, (Jakarta: Rajawali, 1986), hal. 22

[25] Ibid., hal. 24

[26] Ibid., hal. 28
[27] Nasution, S, Berbagai Pendekatan Belajar dan Mengajar, (Jakarta: Bina Aksara,1984), hal. 55

[28] Winkel, W.S, Psikologi Pengajaran, (Jakarta: Gramedia 1987), hal. 33

[29] Ibid., hal 45

[30] Ibid., hal. 47