Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menilai perlu adanya pengembangan mitigasi tragedi tsunami di Indonesia. Berkaca dari peristiwa tsunami Selat Sunda, penyebabnya bukan sebab gempa tektonik, melainkan longsor bawah maritim akhir erupsi Gunung Anak Krakatau.
"Inilah tragedi geologi yang kemungkinan dapat terulang, oleh sebab itu mitigasi tsunami harus dikembangkan," kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho dalam jumpa pers di kantornya, Rabu (26/12).
Sutopo mengakui, Indonesia banyak mempunyai sistem peringatan dini tsunami akhir gempa tektonik. Sebaliknya, sistem peringatan dini akhir longsor bawah maritim sama sekali belum punya.
Sutopo menambahkan penduduk Indonesia yang tinggal di tempat rawan tragedi ada jutaan jiwa. Khusus di pesisir pantai, penduduk Indonesia yang tinggal sekitar 3,8 juta jiwa.
"Biasanya jikalau terjadi tsunami tektonik, golden time kita untuk penyelamatan kurang dari satu jam, kesempatan untuk menyelamatkan diri sebentar," ujar Sutopo.
Untuk itu, pengembangan mitigasi bencana, khususnya tsunami, perlu dilakukan. Mulai dari penelitian dan pengkajian, sampai sosialisasi, termasuk soal durasi waktu penyelamatan usai terjadi gempa yang berpotensi mengakibatkan tsunami.
"Contoh Ende, terjadi gempa, kurang lebih 5 menit longsor dan tsunami, dengan ketinggian 36 meter," kata Sutopo.
Untuk itu, pengembangan mitigasi bencana, khususnya tsunami, perlu dilakukan. Mulai dari penelitian dan pengkajian, sampai sosialisasi, termasuk soal durasi waktu penyelamatan usai terjadi gempa yang berpotensi mengakibatkan tsunami.
"Contoh Ende, terjadi gempa, kurang lebih 5 menit longsor dan tsunami, dengan ketinggian 36 meter," kata Sutopo.
"Tsunami tiba begitu cepat, menyerupai Palu hanya 4 menit sehabis gempa, tidak ada warning, masyarakat tidak sempat untuk evakuasi," ucapnya.