Idealisme Dan Filsafat Pendidikan


BAB I
P E N D A H U L  U A N
Terdapat banyak argumentasi untuk mempelajari filsafat pendidikan   Idealisme dan Filsafat Pendidikan

A.    Latar Belakang Masalah
Terdapat banyak argumentasi untuk mempelajari filsafat pendidikan, utamanya apabila ada pertanyaan rasional yang seyogyanya tidak sanggup dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu pendidikan. Pakar dan praktisi pendidikan menatap filsafat yang membicarakan rancangan dan praktik pendidikan secara komprehensif selaku potongan yang sungguh penting dalam menyeleksi kesuksesan pendidikan. Terlebih lagi, di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang melaju sungguh pesat, pendidikan mesti diberi inovasi biar tidak ketinggalan kemajuan serta mempunyai arah tujuan yang jelas. Di sinilah perlunya konstruksi filosofis yang dapat melandasi teori dan praktek pendidikan untuk meraih kesuksesan substantif.
Teori dan praktek pendidikan mempunyai spektrum yang sungguh luas meliputi seluruh pemikiran dan pengalaman tentang tujuan, proses, serta hasil pendidikan. Pendidikan sanggup dipelajari secara empirik menurut pengalaman maupun lewat perenungan dengan menyaksikan makna pendidikan dalam konteks yang lebih luas.


BAB II
P E M B A H A S A N
A.    Pengertian Filsafat Pendidikan
Filsafat dan filosof berasal dari kata Yunani “philosophia” dan “philosophos”. Menurut bentuk kata, seorang philosphos merupakan seorang pencinta kebijaksanaan. Sebagian lain menyampaikan bahwa filsafat merupakan cinta akan kebenaran. Filsafat sering pula diartikan selaku persepsi hidup.[1] Dalam dunia pendidikan, filsafat mempunyai peranan yang sungguh besar. Karena, filsafat yang merupakan persepsi hidup iku menyeleksi arah dan tujuan proses pendidikan.
Oleh lantaran itu, filsafat dan pendidikan mempunyai kekerabatan yang sungguh erat. Sebab, pendidikan sendiri pada hakikatnya merupakan proses pewarisan nilai-nilai filsafat, yang dikembangkan untuk menyanggupi keperluan hidup dan kehidupan yang lebih baik atau tepat dari kondisi sebelumnya.[2]
Dalam pendidikan diperlukan bidang filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan sendiri merupakan ilmu yang mempelajari dan berupaya mengadakan solusi terhadap masalah-masalah pendidikan yang bersifat filosofis.[3] Makara jikalau ada kendala atas pertanyaan-pertanyaan soal pendidikan yang bersifat filosofis, wewenang filsafat pendidikanlah untuk menjawab dan menyelesaikannya.
Secara filosofis, pendidikan merupakan hasil dari peradaban sebuah bangsa yang terus menerus dikembangkan menurut kesempatan dan tujuan filsafat serta persepsi hidupnya, sehingga menjadi sebuah realita yang melembaga di dalam masyarakatnya.[4] Dengan demikian, muncullah filsafat pendidikan yang menjadi dasar bagaimana sebuah bangsa itu berpikir, berperasaan, dan berkelakuan yang menyeleksi bentuk perilaku hidupnya. Adapun proses pendidikan dijalankan secara terus menerus dijalankan dari generasi ke generasi secara sadar dan sarat keinsafan.
Ajaran filsafat merupakan hasil pemikiran sesorang atau beberapa luar biasa filsafat tentang sesuatu secara fundamental. Dalam memecahkan sebuah kendala terdapat pebedaan di dalam penggunaan cara pendekatan, hal ini melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang berlawanan pula, meskipun kendala yang dihadapi sama.[5] Perbedaan ini sanggup disebabkan pula oleh factor-faktor lain menyerupai latar belakangpribadi para luar biasa tersebut, dampak zaman, kondisi dan alam fikiran insan di sebuah tempat.
Ajaran filsafat yang berbada-beda tersebut, oleh para peneliti disusun dalam sebuah sistematika dengan klasifikasi tertentu, sehingga menciptakan klasifikasi. Dari sinilah kemudian lahir apa yang disebut aliran (sistem) sebuah filsafat. Tetapi lantaran cara dan dasar yang dijadikan criteria dalam tentukan penjabaran tersebut berbeda-beda, maka penjabaran tersebut berbeda-beda pula.
Seorang luar biasa berjulukan Brubacher membedakan aliran-aliran filsafat pendidikan sebagai: pragmatis-naturalis; rekonstruksionisme; romantis naturalis; eksistensialisme; idealisme; realisme; rasional humanisme; scholastic realisme; fasisme; komunisme; dan demokrasi. Pengklasifikasian yang dijalankan oleh Brubracher sungguh teliti, hal ini dijalankan untuk menyingkir dari adanya overlapping dari masing-masing aliran.
Sebagian luar biasa mengklasifikasikan aliran filsafat pendidikan ke dalam tiga kategori. Yaitu, klasifikasi filsafat pendidikan akademik skolastik, klasifikasi filsafat religious theistic, dan klasifikasi filsafat pendidikan social politik. Filsafat pendidikan akademik skolastik meliputi dua kalangan yang tradisonal meliputi aliran perenialisme, esensialisme, idealisme, dan realisme, dan progresif meliputi progresivisme, rekonstruksionisme, dan eksistensialisme. Filsafat religious theistik meliputi segala jenis aliran agama yang paling tidak berisikan empat besar agama di dunia ini, dengan segala kombinasi sekte-sekte agama masing-masing. Sedangkan filsafat pendidikan social politik berisikan humanisme, nasionalisme, sekulerisme, dan sosialisme.
B.    Aliran Filsafat Idealisme
Tokoh aliran idealisme merupakan Plato (427-374 SM), murid Sokrates. Aliran idealisme merupakan sebuah aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa.[6] Menurutnya, cita merupakan citra orisinil yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara citra orisinil (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan sebuah angan-angan yakni dunia idea. Aliran ini menatap serta menilai bahwa yang nyata hanyalah idea. Idea sendiri senantiasa tetap atau tidak mengalami pergeseran serta penggeseran, yang mengalami gerak tidak dikategorikan idea.
Keberadaan idea tidak terlihat dalam wujud lahiriah, tetapi citra yang orisinil cuma sanggup dipotret oleh jiwa murni. Alam dalam persepsi idealisme merupakan citra dari dunia idea, alasannya merupakan posisinya tidak menetap.[7] Sedangkan yang dimaksud dengan idea merupakan hakikat murni dan asli. Keberadaannya sungguh otoriter dan kesempurnaannya sungguh mutlak, tidak dapat dijangkau oleh material. Pada kenyataannya, idea digambarkan dengan dunia yang tidak berupa demikian jiwa bertempat di dalam dunia yang tidak berbadan yang dibilang dunia idea.
Plato yang mempunyai filsafat beraliran idealisme yang kongkret mengemukakan bahwa jalan untuk membentuk penduduk menjadi stabil merupakan menyeleksi kedudukan yang niscaya bagi setiap orang dan setiap kelas menurut kapasitas masin-masing dalam penduduk selaku keseluruhan. Mereka yang mempunyai kebajikan dan kebijaksanaan yang cukup sanggup menduduki posisi yang tinggi, berikutnya berurutan ke bawah. Misalnya, dari atas ke bawah, dimulai dari raja, filosof, perwira, serdadu hingga terhadap pekerja dan budak. Yang menduduki urutan paling atas merupakan mereka yang sudah beberapa tahun mengalami pendidikan dan latihan serta sudah memperlihatkan sifat superioritasnya dalam melawan aneka macam godaan, serta sanggup memperlihatkan cara hidup menurut kebenaran tertinggi.
Mengenai kebenaran tertinggi, dengan kepercayaan yang terkenal dengan perumpamaan ide, Plato mengemukakan bahwa dunia ini tetap dan jenisnya satu, sedangkan wangsit tertinggi merupakan kebaikan. Tugas wangsit merupakan memimpin kebijaksanaan insan dalam menjadi rujukan bagi pengalaman. Siapa saja yang sudah menguasai ide, ia akan mengenali jalan yang pasti, sehingga sanggup menggunakan selaku alat untuk mengukur, mengklasifikasikan dan menilai segala sesuatu yang dialami sehari-hari.
Kadangkala dunia idea merupakan pekerjaan norahi yang berupa angan-angan untuk merealisasikan kesempatan yang arealnya merupakan lapangan metafisis di luar alam yang nyata. Menurut Berguseon, rohani merupakan sasaran untuk merealisasikan sebuah visi yang lebih jauh jangkauannya, yakni intuisi dengan menyaksikan realita bukan selaku materi yang beku maupun dunia luar yang tak sanggup dikenal, melainkan dunia daya hidup yang kreatif.[8]
Aliran idealisme kenyataannya sungguh identik dengan alam dan lingkungan sehingga melahirkan dua macam realita. Pertama, yang terlihat yakni apa yang dialami oleh kita selaku makhluk hidup dalam lingkungan ini menyerupai ada yang tiba dan pergi, ada yang hidup dan ada yang demikian seterusnya.[9] Kedua, merupakan realitas sejati, yang merupakan sifat yang abadi dan tepat (idea), pemikiran dan fikiran yang utuh di dalamnya terdapat nilai-nilai yang murni dan asli, kemudian kemutlakan dan kesejatian kedudukannya lebih tinggi dari yang tampak, lantaran idea merupakan wujud yang hakiki.
Prinsipnya, aliran idealisme mendasari semua yang ada. Yang nyata di alam ini cuma idea, dunia idea merupakan lapangan rohani dan bentuknya tidak sama dengan alam nyata menyerupai yang terlihat dan tergambar. Sedangkan ruangannya tidak mempunyai batas dan tumpuan yang paling final dari idea merupakan arche yang merupakan wilayah kembali kesempurnaan yang disebut dunia idea dengan Tuhan, arche, sifatnya kekal dan sedikit pun tidak mengalami perubahan.
Inti yang paling penting dari fatwa ini merupakan insan menilai roh atau sukma lebih bermanfaat dan lebih tinggi dibandingkan dengan materi bagi kehidupan manusia. Roh itu intinya dianggap sebuah hakikat yang sebenarnya, sehingga benda atau materi disebut selaku penjelmaan dari roh atau sukma. Aliran idealisme berupaya membuktikan secara alami fikiran yang keadaannya secara metafisis yang gres berupa gerakan-gerakan rohaniah dan dimensi gerakan tersebut untuk menerima hakikat yang mutlak dan murni pada kehidupan manusia.
Demikian juga hasil pembiasaan individu dengan individu lainnya. Oleh lantaran itu, adanya kekerabatan rohani yang hasilnya membentuk kebudayaan dan peradaban baru. Maka apabila kita mengecek pelbagai macam usulan tentang isi aliran idealisme, yang intinya membicarakan tentang alam fikiran rohani yang berupa angan-angan untuk merealisasikan cita-cita, di mana insan berpikir bahwa sumber wawasan terletak pada realita rohani sehingga kepuasaan cuma bisa diraih dan dicicipi dengan mempunyai nilai-nilai kerohanian yang dalam idealisme disebut dengan idea.
Memang para filosof ideal mengawali sistematika berpikir mereka dengan persepsi yang mendasar bahwa realitas yang tertinggi merupakan alam pikiran  Sehingga, rohani dan sukma merupakan tumpuan bagi pelaksanaan dari paham ini. Karena itu alam nyata tidak mutlak bagi aliran idealisme.
Namun pada porsinya, para filosof idealisme mengetengahkan aneka macam macam persepsi tentang hakikat alam yang bahwasanya merupakan idea. Idea ini digali dari bentuk-bentuk di luar benda yang nyata sehingga yang kelihatan apa di balik nyata dan usaha-usaha yang dijalankan intinya merupakan untuk mengenal alam raya. Walaupun katakanlah idealisme dipandang lebih luas dari aliran yang lain lantaran pada prinsipnya aliran ini sanggup meraih hal-ihwal yang sungguh pelik yang sering kali sulit dipercayai sanggup atau diubah oleh materi, Sebagaimana Phidom mengetengahkan, dua prinsip pengenalan dengan memungkinkan alat-alat inderawi yang difungsikan di sini merupakan jiwa atau sukma.
Dengan demikian, dunia pun terbagi dua yakni dunia nyata dengan dunia tidak nyata, dunia kelihatan (boraton genos) dan dunia yang tidak kelihatan (cosmos neotos). Bagian ini menjadi sasaran studi bagi aliran filsafat idealism
Plato dalam mencari jalan lewat teori aplikasi di mana pengenalan terhadap idea bisa dipraktekkan pada alam nyata menyerupai yang ada di hadapan manusia. Sedangkan pengenalan alam nyata belum tentu bisa mengenali apa di balik alam nyata. Memang kenyataannya sulit menangkal unsur-unsur yang ada dalam fatwa idealisme utamanya dengan Plato. Ini disebabkan aliran Platonisme ini bersifat lebih banyak membicarakan tentang hakikat sesuatu dibandingkan dengan menampilkannya dan mencari dalil dan pemberitahuan hakikat itu sendiri. Oleh lantaran itu sanggup kita katakan bahwa fikiran Plato itu bersifat dinamis dan tetap berlanjut tanpa akhir. Tetapi betapa pun adanya buah fikiran Plato itu maka luar biasa sejarah filsafat tetap memperlihatkan wilayah terhormat bagi sebagian usulan dan buah pikirannya yang pokok dan utama.
Antara lain Betran Russel berkata: Adapun buah fikiran penting yang dibicarakan oleh filsafat Plato adalah: kota utama yang merupakan idea yang belum pernah dipahami dan dikemukakan orang sebelumnya. Yang kedua, pendapatnya tentang idea yang merupakan buah fikiran utama yang menjajal memecahkan persoalan-persoalan menyeluruh duduk kendala itu yang hingga kini belum terpecahkan. Yang ketiga, pembahasan dan dalil yang dikemukakannya tentang keabadian. Yang keempat, buah fikiran tentang alam/cosmos, yang kelima, pandangannya tentang ilmu pengetahuan.
C.    Idealisme dan Filsafat Pendidikan
Aliran filsafat idealisme terbukti lumayan banyak memperhatikan masalah-masalah pendidikan, sehingga cukup besar lengan berkuasa terhadap pemikiran dan praktik pendidikan. William T. Harris merupakan tokoh aliran pendidikan idealisme yang sungguh besar lengan berkuasa di Amerika Serikat. Bahkan, jumlah tokoh filosof Amerika kekinian tidak sebanyak menyerupai tokoh-tokoh idealisme yang seangkatan dengan Herman Harrell Horne (1874-1946). Herman Harrell Horne merupakan filosof yang mengajar filsafat beraliran idealisme lebih dari 33 tahun di Universitas New York.[10]
Belakangan, timbul pula Michael Demiashkevitch, yang menulis tentang idealisme dalam pendidikan dengan imbas khusus. Demikian pula B.B. Bogoslovski, dan William E. Hocking. Kemudian timbul pula Rupert C. Lodge (1888-1961), profesor di bidang logika dan sejarah filsafat di Universitas Maitoba. Dua bukunnya yang merefleksikan kecemerlangan pemikiran Rupert dalam filsafat pendidikan merupakan Philosophy of Education dan studi mengenai pemikirian Plato di bidang teori pendidikan. Di Italia, Giovanni Gentile Menteri bidang Instruksi Publik pada Kabinet Mussolini pertama, keluar dari reformasi pendidikan lantaran berpegang pada prinsip-prinsip filsafat idealisme selaku perlawanan terhadap dua aliran yang hidup di negara itu sebelumnya, yakni positivisme dan naturalisme.
Idealisme sungguh concern tentang eksistensi sekolah. Aliran inilah satu-satunya yang menjalankan oposisi secara mendasar terhadap naturalisme. Pendidikan mesti terus eksis selaku forum untuk proses pemasyarakatan insan selaku keperluan spiritual, dan tidak sekadar keperluan alam semata. Gerakan filsafat idealisme pada masa ke-19 secara khusus mengajarkan tentang kebudayaan insan dan forum kemanuisaan selaku verbal realitas spiritual.
Para murid yang menikmati pendidikan di masa aliran idealisme sedang gencar-gencarnya diajarkan, menerima pendidikan dengan mendapat pendekatan (approach) secara khusus. Sebab, pendekatan dipandang selaku cara yang sungguh penting.[11] Giovanni Gentile pernah mengemukakan, “Para guru dilarang berhenti cuma di tengah pengkelasan murid, atau tidak memantau satu persatu muridnya atau tingkah lakunya. Seorang guru mesti masuk ke dalam pemikiran terdalam dari anak didik, sehingga kalau perlu ia berkumpul hidup bareng para anak didik. Guru jangan cuma membaca berulang kali spontanitas anak yang timbul atau sekadar ledakan kecil yang tidak banyak bermakna.
Bagi aliran idealisme, anak didik merupakan seorang eksklusif tersendiri, selaku makhluk spiritual. Mereka yang menganut paham idealisme senantiasa memperlihatkan bahwa apa yang mereka jalankan merupakan verbal dari keyakinannya, selaku sentra utama pengalaman pribadinya selaku makhluk spiritual. Tentu saja, model pemikiran filsafat idealisme ini sanggup dengan mudah ditransfer ke dalam metode pengajaran dalam kelas. Guru yang menganut paham idealisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual merupakan sebuah kenyataan, mereka tidak menyaksikan murid selaku apa adanya, tanpa adanya spiritual.
Sejak idealisme selaku paham filsafat pendidikan menjadi kepercayaan bahwa realitas merupakan pribadi, maka mulai di saat itu dipahami tentang perlunya pengajaran secara individual. Pola pendidikan yang diajarkan fisafat idealisme berpusat dari idealisme. Pengajaran tidak sepenuhnya berpusat dari anak, atau materi pelajaran, juga bukan masyarakat, melainkan berpusat pada idealisme. Maka, tujuan pendidikan menurut paham idealisme terbagai atas tiga hal, tujuan untuk individual, tujuan untuk masyarakat, dan adonan antara keduanya.
Pendidikan idealisme untuk perorangan antara lain berniat biar anak didik bisa menjadi kaya dan mempunyai kehidupan yang bermakna, mempunyai kepribadian yang serasi dan sarat warna, hidup bahagia, bisa menahan aneka macam tekanan hidup, dan pada hasilnya dikehendaki bisa menolong individu yang lain untuk hidup lebih baik.
Sedangkan tujuan pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial merupakan perlunya persaudaraan sesama manusia. Karena dalam spirit persaudaraan terkandung sebuah pendekatan seseorang terhadap yang lain. Seseorang tidak sekadar menuntuk hak pribadinya, tetapi kekerabatan insan yang satu dengan yang yang lain terbingkai dalam kekerabatan kemanusiaan yang saling sarat pemahaman dan rasa saling menyayangi. Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan selaku gabungan antara tujuan perorangan dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berhubungan dengan Tuhan.
Guru dalam metode pengajaran yang menganut aliran idealisme berfungsi sebagai:
1)     Guru merupakan personifikasi dari realita si anak didik;
2)     Guru mesti seorang seorang luar biasa dalam sebuah ilmu wawasan dari siswa;
3)     Guru haruslah menguasai teknik mengajar secara baik;
4)     Guru haruslah menjadi eksklusif terbaik, sehingga disegani oleh para murid;
5)     Guru menjadi kawan dari para muridnya;
6)     Guru mesti menjadi eksklusif yang dapat menghidupkan gairah murid untuk belajar;
7)     Guru mesti bisa menjadi idola para siswa;
8)     Guru mesti rajib beribadah, sehingga menjadi insan kamil yang bisa menjadi teladan para siswanya;
9)     Guru mesti menjadi eksklusif yang komunikatif;
10) Guru mesti bisa mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi materi bimbing yang diajarkannya;
11) Tidak cuma murid, guru pun mesti ikut berguru sebagaimana para siswa belajar;
12) Guru mesti merasa senang jikalau anak muridnya berhasil;
13) Guru haruslah bersikap dmokratis dan membuatkan demokrasi;
14) Guru mesti bisa belajar, bagaimana pun keadaannya.[12]
Kurikulum yang digunakan dalam pendidikan yang beraliran idealisme mesti lebih memfokuskan pada isi yang objektif. Pengalaman haruslah lebih banyak dibandingkan dengan pengajaran yang textbook. Agar agar wawasan dan pengalamannya senantiasa aktual.











BAB III
P E N U T U P.
Berdasarkan uraian-uraian yang penulis kemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka pada potongan terakhir ini penulis sanggup mengambil beberapa kesimpulan serta mengajukan beberapa saran.
A.    Kesimpulan
1.     Filsafat dan filosof berasal dari kata Yunani “philosophia” dan “philosophos”. Menurut bentuk kata, seorang philosphos merupakan seorang pencinta kebijaksanaan. Sebagian lain menyampaikan bahwa filsafat merupakan cinta akan kebenaran. Filsafat sering pula diartikan selaku persepsi hidup.
2.     Tokoh aliran idealisme merupakan Plato (427-374 SM), murid Sokrates. Aliran idealisme merupakan sebuah aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa.
3.     Aliran filsafat idealisme terbukti lumayan banyak memperhatikan masalah-masalah pendidikan, sehingga cukup besar lengan berkuasa terhadap pemikiran dan praktik pendidikan.
B.    Saran - Saran
1.     Disarankan terhadap umat islam biasanya dan utamanya terhadap mahasiswa STIT Almuslim untuk memperdalam pengkajian ilmu filsafat.
2.     Disarankan terhadap pihak STIT Almuslim biar sanggup menawarkan staf pengajar yang luar biasa dibidang filsafat, lantaran dengan adanya staf pengajar yang luar biasa sanggup memajukan mutu para mahasiswa.
3.     Disarankan terhadap para mahasiswa untuk sanggup menelaah islam secara mendalam, agar sanggup memperbesar ilmu pengetahuan
DAFTAR PUSTAKA

Barnadip, imam, filsafat pendidikan, yogyakarta: andi offset, 1987
Khobir, Abdul, filsafat pendidikan islam, pekalongan: STAIN PRESS, 2007.
Admin, Mazhab-Mazhab Filsafat Pendidikan, Situs pemberitahuan Indonesia Serba serbi Dunia Pendidikan, http://edu-articel.com/2006.
Hidayanto, D.N, Diktat Landasan Pendidikan, Untuk Mahasiswa, Guru dan Praktisi Pendidikan, Forum Komunikasi Ilmiah FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 2000.
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat, Buku Kedua Pengantar Kepada Teori Pengetahuan, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Hoesin, Oemar Amin, Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, cet. I, 1961.
Jurnal Filsafat, Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada, Edisi Agustus, 1992.
Peursen, C.A. Van, Susunan Ilmu Pengetahuan, Sebuah Pengantar Filsafat Islam, Alih bahasa; J. Drost, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, cet. III, 1993.
Yuyun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Uni Press, cet. I, 1984.
Zanti Arbi, Sutan, Pengantar Kepada Filsafat Pendidikan, Depdikbud, Dirjen Pendidikan Tinggi Proyek Pengemba¬ngan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Jakarta: 1988.




Barnadip, imam, filsafat pendidikan, yogyakarta: andi offset, 1987
Khobir, Abdul, filsafat pendidikan islam, pekalongan: STAIN PRESS, 2007.
Admin, Mazhab-Mazhab Filsafat Pendidikan, Situs pemberitahuan Indonesia Serba serbi Dunia Pendidikan, http://edu-articel.com/2006.
Hidayanto, D.N, Diktat Landasan Pendidikan, Untuk Mahasiswa, Guru dan Praktisi Pendidikan, Forum Komunikasi Ilmiah FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 2000.
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat, Buku Kedua Pengantar Kepada Teori Pengetahuan, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Hoesin, Oemar Amin, Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, cet. I, 1961.
Jurnal Filsafat, Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada, Edisi Agustus, 1992.
Peursen, C.A. Van, Susunan Ilmu Pengetahuan, Sebuah Pengantar Filsafat Islam, Alih bahasa; J. Drost, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, cet. III, 1993.
Yuyun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Uni Press, cet. I, 1984.
Zanti Arbi, Sutan, Pengantar Kepada Filsafat Pendidikan, Depdikbud, Dirjen Pendidikan Tinggi Proyek Pengemba¬ngan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Jakarta: 1988.




[1] Khobir, Abdul, filsafat pendidikan islam, (Pekalongan: STAIN PRESS, 2007),hal. 28.
[2] Barnadib, Imam, Ke Arah Perspektif Pendidikan, (Yogyakarta: FIP IKIP, 1994), hal. 31
[3] Beerl.ing, Kwee, Mooij Van Peursen, Pengantar Filsafat Ilmu, alih bahasa; Soejono cet. III, (Yogyakarta: Soemargono, 1990), hal. 28.
[4] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Buku Kedua Pengantar Kepada Teori Pengetahuan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hal. 35.
[5] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih bahasa, Soerjono Soemargono, (Yoryakarta: Tiara Wacana, 1986), hal. 41.
[6] Yuyun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer cet. I,, (Jakarta: Uni Press, 1984), hal 24.
[7] Zanti Arbi, Sutan, Pengantar Kepada Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Depdikbud, Dirjen Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, 1988) hal. 33.
[8] Louis O. Kattsoff, Pengantar,.............................,hal. 17
[9] Khobir, Abdul, filsafat pendidikan,.............................,hal. 19

[10] Khobir, Abdul, filsafat pendidikan,.............................,hal. 27


[11] Khobir, Abdul, filsafat pendidikan,.............................,hal. 31

[12] Barnadip, imam, filsafat pendidikan, (yogyakarta: andi offset, 1987), hal. 45

Related Post